Azzamyang sudah sangat rindu dengan keluarganya memutuskan untuk serius dalam belajar, hingga akhirnya berhasil lulus. Azzam pun menepati janjinya ke keluarganya untuk kembali ke kampong dan segera mencari jodoh di sana, memenuhi amanat ibunya. Walaupun sebenarnya masih terbersit sedikit harapan untuk tetap mendapatkan hati Anna.
Jikadigunakan untuk mendapat jodoh, maka pikirannya sungguh bodoh. Jika digunakan untuk mantra selamat dari bala, yang didapat malah azab dari api yang menyala. Jika digunakan untuk memudahkan ujian, sebenarnya sudah gagal memakai pikiran. Berulang kali kisah-kisah dalam Al Qur'an meminta kita untuk mengambil pelajaran.
AlQuran dan hadits sudah jelas menyebut dosa besar yang harus dijauhi oleh bukan hanya pemeluk Islam, tetapi juga non-Muslim. Pasalnya, dosa besar merupakan pelanggaran hukum dan kejahatan yang sejalan dengan common sense, nalar umum.Allah menyediakan sanksi keras bagi para pelaku dosa besar.
Halini sebagaimana disinyalir dalam Hadis riwayat Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Ibnu Hibban, Imam Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam an-Nasai dan lainnya. Karenanya, perlu kiranya kami memberikan sedikit bocoran terkait cara memilih jodoh atau pasangan.
Dalamajaran teologis, jodoh adalah wilayah kewenangan Tuhan. Namun, pada prinsip humanitas, kewenangan Tuhan . Zaitur Rahem Volume 5, Nomor 1, Mei 2017 2 tidak seharusnya ditafsir secara ekslusif. Tuhan memang pemegang mutlak kewenangan. 2 Ibnu ‘Athaillah, Al-Hikam, (Jakarta: Zaman, 2015), 50. Zaitur Rahem
Maruf amin lantas mengutip Imam Ibnu Athaillah, mengenai perbedaan yang tidak perlu dikhawatirkan, justru yang perlu dikhawatirkan adalah dorongan hawa nafsu yang tidak terkendali. Oleh karena itu, dalam kesempatan milad kali ini, MUI telah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menyusun persepsi yang sama tentang dakwah
. TAKDIR JODOH – Jodoh adalah salah satu misteri yang selalu dipertanyakan oleh umat manusia. Dan jika seseorang bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang lain. Maka akan terciptalah berbagai jawaban yang berbeda dari mereka. Misalnya saja jika kamu bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang belum mempunyai tambatan hati. Mungkin mereka akan menjawab tentang jodoh dengan kriteria sempurna. Misalnya jodoh yang tampan, mapan, dan shaleh/shalihah, punya beberapa hafalan, mempunyai keturunan atau nasab yang baik. Dan banyak lagi yang lahir dari angannya. Berbeda lagi jika kamu bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang sudah mempunyai seseorang redpacar, tambatan hati. Mereka menjawabnya akan lebih condong kepada karakter seseorang yang diyakini mereka akan menjadi pendampingnya kelak. Mereka tidak peduli lagi akan kelebihan dan kekurangan yang sebelumnya dimiliki oleh tambatan hatinya itu, yang jelas seperti dia. Jawaban ini juga akan berbeda lagi jika kamu menanyakan tentang jodoh kepada seseorang yang sudah menikah atau bahkan mempunyai momongan. Mereka akan menjawabnya dengan sangat sederhana, seperti yang penting seorang muslim, shalih/shalihah, serta mampu berperan dalam keluarga. Seperti itulah jawaban-jawaban yang akan muncul jika kita bertanya tentang jodoh. Beragam jawaban akan muncul dan tentunya itu tergantung dengan persepsi masing-masing orang yang dipunyai. Mereka hanya berusaha memberikan jawaban secara subjektif sesuai dengan apa yang mereka tahu. Berbicara tentang Jodoh, bagaimana cara pandang Islam dalam mengungkapkan rahasia di dalamnya? Apakah Jodoh merupakan takdir yang telah digariskan? Tetapi kenapa Rasulullah juga memberikan kita pilihan untuk memilih jodoh yang kita inginkan? Kenapa begitu banyak nasehat yang menyarankan agar kita lebih berhati-hati dalam memilih calon pendamping kita? Dikarenakan hal itu pula, masih banyak manusia yang khawatir tentang jodohnya. Malah banyak yang dikarenakan hal tersebut malah memilih jalan setan seperti pacaran sebagai bentuk “ikhtiar” tentang jodoh. Padahal hal tersebut benar-benar salah. Dilain pihak, ada yang menghindari hal tersebut. Namun sangat sedikit upaya dalam ber”ikhtiar” yang benar sehingga pada umur yang semakin bertambah, dia tidak kunjung mendapatkan jodoh. Kenapa hal ini terjadi? Sebenarnya jodoh itu pilihan atau takdir sih? Padahal sesungguhnya Allah telah membocorkan persoalan tentang jodoh ini kepada kita melalui ayatnya Al-Qur’an Surat An Nur ayat 26 yang berbunyi Artinya Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang .baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Qs. An Nur26 Jika melihat dari potongan ayat Al-Qur’an diatas dapat dikatakan bahwa Laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Sedangkan laki-laki yang tidak baik juga untuk wanita yang tidak baik. Sungguh merupakan sebuah rahasia yang sebenarnya sudah lama terungkap jika kita mau mengkaji agama kita lebih dalam. Karena dengan hal tersebut sesungguhnya kita sekarang dapat meyakini, memahami, dan mengamalkan apa yang terkandung di dalam ayat tersebut. Bagaimana? Tidak sulit bukan jika kita ingin memahami jodoh dari kacamata kita sebagai seorang muslim. Di dalam agama Islam, jodoh itu berarti seseorang yang telah tertulis namanya di Lauh Mahfuz bahkan jauh sebelum kita manusia diciptakan ke dunia dimana dia akan ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidup kita di dunia ini. Namun bukannya kita tidak bisa memilih tentang jodoh karena yang tertulis di Lauh Mahfudz itu merupakan banyak pilihan jalan. Dan itu sebenarnya merupaka hasil dari sikap dan akhlaq kita dalam menanggapi kehidupan yang sementara ini. Jadi jodoh merupakan hal telah tertulis di Lauh Mahfudz,namun kita bisa memilih dengan siapakah kita akan nanti berjodoh. Tentunya pengaruh ahklaq dan sikap kita di dunia akan menentukannya. Seperti soal rejeki yang dimana hasilnya adalah merupakan faktor dari setiap usaha, ikhtiar, dan doa kita kepada Allah. Begitu juga dampak dari rezeki tersebut dimana itu juga terpengaruh dari jalan kita dalam memilih apakah rezeki yang kita ambil merupakan rezeki halal atau haram. Jadi apakah kamu masih bingung dalam memilih atau mendapatkan jodoh? Karena sesungguhnya jodoh yang akan datang kepadamu merupakan hasil dari setiap doa dan usaha kamu. Jika ingin mendapatkan jodoh yang membawa kamu kepada kebahagiaan dan keberkahan dari Allah, maka dapatkanlah dia dengan berusaha dulu mendapatkan cinta Allah. Rahasia Memilih Jodoh Dalam Islam Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda bahwa, “Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” HR Bukhari dan Muslim. Dikatakan disini bahwa seorang laki-laki muslim dalam memilih seorang wanita yang baik untuk dijadikan istrinya aka nada 4 faktor yang harus diperhatikan. Yaitu Agama, martabat, harta, dan kecantikan. Dan ketahuilah bahwa Rasulullah mengharuskan kita untuk memilih agama dan kualitasnya terlebih dahulu, Baru tiga faktor yang lain bisa menyusul. Begitu pula dengan pihak wanita. Wanita dalam menerima pinangan laki-laki atau memilih calon pemimpin keluarganya kelak juga harus memperhatikan hal diatas. Ketaqwaan calon pria yang ingin menikahinya harus menjadi pilihan utama. Dan tentunya sebenarnya seseorang yang datang kepadamu untuk menikahi kamu atau seseorang yang akan kau nikahi merupakan cerminan daripada kamu itu sendiri. Jadi jika kamu ingin mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada seseorang yang telah datang kepadamu, kamu bisa ikhtiar dengan mengubah setiap akhlaq untuk lebih baik dan berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan pasangan yang baik agamanya. Yang sanggup membimbing kita kepada surga Allah. Hubungan Jodoh dan Cerai Mungkin akan banyak yang berpikir, jika seseorang yang kita nikahi, lama mendampingi kita, merupakan cerminan dari diri kita sendiri, dan bisa katakana dia adalah jodoh kita. Kenapa ada banyak orang di dunia ini yang akhirnya memutuskan untuk bercerai atau berpisah? Dari sini kita kembali kepada yang namanya takdir. Bahwa sebenarnya di Lauh Mahfudz kita telah dituliskan banyak pilihan tentang jalan hidup apa yang akan kita jalani. Itulah hak manusia yang kita miliki. Yaitu kita mempunyai kewajiban dalam “memilih” tentang apa-apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam hidup kita. Tentunya setiap pilihan tersebut sebenarnya memang telah tertulis dan ada jalan sendiri-sendiri termasuk urusan jodoh. Rasulullah telah memberikan kita petunjuk dan juga nasihat untuk memilih pasangan hidup. Namun jika kita masih memilih pasangan hidup kita yang tidak sesuai dengan petunjuk tersebut, sesungguhnya kita sedang berlarut diri daripada nafsu dan ego. Maka dari itu jika pasangan hidup kita malah membawa kita menjauh diri dari Allah, jangan salahkan Allah yang telah menuliskan takdir. Karena semua itu sebenarnya sudah sesuai daripada apa yang telah kamu pilih sebelumnya. Apa dengan cara yang baik dan halal sesuai Islam atau dengan cara maksiat. Bukankah Allah sudah memperingatkan.. Rasulullah pun sudah berpesan. Kita sendiri yang menentukan pilihan, walaupun hasil akhirnya tetap ada di tangan Tuhan, apakah mempersatukan dengan orang pilihan kita meskipun kita salah jalan , atau justru menggagalkan. Jika Allah menyatukan jangan berbangga dan merasa benar dulu, belum tentu Allah meridhai pilihan kita tadi bukan? Karena Allah hanya akan meridhai yang baik-baik saja. Tapi karena kasih-Nya, Dia mengabulkan apa yang kita usahakan, Dia mengizinkan semua itu terjadi, namun di balik kehendak-Nya tadi, tidak kah kita takut Allah berkata.. “Inikah maumu? Inikah yang membuatmu bahagia? Inikah yang kau pilih? maka Aku izinkan semua maumu ini terjadi. Namun kau juga harus mempertanggung jawabkan semua ini di akhirat nanti” Jadi, kembali kepada diri masing-masing ya kawan dalam mendapatkan jodoh. Nah itulah Takdir Jodoh menurut pandangan Islam. Semoga tulisan ini dapat membuka mata hati kamu agar tidak galau lagi dan juga bersemangat menjemput pasangan dengan penuh keridloannya. Aamiin Waallahualam
Pengalaman batin kerap kali dirasakan mereka pada suasana genting di mana hajat mereka kepada Allah menguat. Saat melewati masa-masa genting, manusia kerap merasakan kedekatan dengan Allah dibanding ketika ibadah formal seperti shalat, puasa, zakat, atau haji. Hal ini disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah RA pada hikmah berikut وجدت من المزيد في الفاقات مالا تجده في الصوم والصلاةArtinya, “Kadang kamu menemukan bonus di saat hajat-kritis yang tak kaudapati di saat shalat dan puasa.”Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i As-Syadzili memahami dua kewajiban manusia terhadap Allah. Menurutnya, manusia memiliki kewajiban umum dan khusus. Kewajiban umum merupakan kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan perintah formal lainnya. Sedangkan kewajiban khusus merupakan pernyataan kefakiran manusia di hadapan-Nya bahwa kita bukanlah apa-apa dan siapa-siapa saat menjalani ibadah shalat, puasa, atau ibadah وذلك أن مطلوب الحق من الخلق مطلوبان مطلوب عام وهو الأعمال التي منها الصوم والصلاة ومطلوب خاص وهو شهود الفاقات منك ومما لك من الأعمال لشهود ما قام بك ربها من تجليات الأسماء والصفات، وهذا هو مفاد المطلوب الخاص منك في القيام بالمطلوب العام فإنك تجد به من المزيد لفنائك عنك وعنه ما لا تجده في الصلاة والصيام لثبوتك معك ومعهماArtinya, “Menurut saya, Allah memiliki dua tuntutan untuk manusia. Pertama, tuntutan umum, yaitu amal ibadah berupa puasa dan shalat. Kedua, tuntutan khusus, yaitu menyaksikan kondisi hajat-kritismu dan amal-amal yang dilekatkan padamu agar kamu menyaksikan penampakan asma dan sifat Allah yang diperbuat oleh-Nya terhadapmu. Ini merupakan makna dari tuntutan khusus terhadapmu di dalam memenuhi tuntutan umum-Nya. Pasalnya, kamu menemukan bonus ini karena kau fana dari dirimu dan dari tuntutan khusus tersebut yang tak kaudapati di saat shalat dan puasa karena kau hadir bersama shalat dan puasamu,” Lihat Syekh Burhanuddin Ibrahim Al-Aqshara’i As-Syadzili, Ihkamul Hikam, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan pertama, 2008 M/1429 H, halaman 113.Syekh Ibnu Abbad mencoba menjelaskan kenapa perasaan lebih dekat dengan-Nya dialami ketika manusia dalam kondisi genting dan hajat dibanding saat shalat, puasa, dan lain sebagainya. Menurutnya, ibadah shalat, puasa, dan seterusnya rawan disusupi nafsu dan syahwat yang menghalangi pandangan mata batin atas kehadiran dan peran Allah dalam ibadah الفاقات يحصل للمريد بها مزيد كثير من صفاء القلب وطهارة السريرة وقد لا يحصل له ذلك بالصوم والصلاة لأن الصوم والصلاة قد يكون له فيهما شهوة وهوى كما تقدم وما كان هذ سبيله لا يؤمن عليه فيه من دخول الآفات فلا يفيده تحلية ولا تزكية بخلاف ورود الفاقات فانها مباينة للهوى والشهوة على كل حال Artinya, “Kondisi hajat-kritis kerap memberikan banyak bonus berupa kebersihan hati dan kesucian batin bagi murid. Bonus ini kadang tidak ditemukan ketika shalat atau puasa karena syahwat dan dorongan nafsu menyertainya saat menjalani kedua ibadah itu sebagai uraian yang lalu. Kalau jalan itu memang tak selamat dari kemungkinan hama/penyakit, maka tidak berfaidah lagi padanya sifat-sifat terpuji dan upaya pembersihan dari sifat tercela, berbeda dengan kondisi hajat-kritis karena kondisi kritis ini bertolak belakangan dengan syahwat dan dorongan nafsu dalam segala keadaan,” Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa keterangan tahun, juz II, halaman 13.Hikmah ini tidak menganjurkan orang lain untuk mengurangi amal-ibadahnya. Pada hikmah ini Syekh Ibnu Athaillah menyatakan bahwa kewajiban manusia kepada Allah terbagi dua di mana kedekatan kepada-Nya bisa saja dirasakan meningkat ketika batin diliputi perasaan genting mencekam di luar ibadah formal. Wallahu alam. Alhafiz K
Hidup sering kali berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Bahkan rencana yang sudah kita perhitungkan dengan matang, juga kerap tidak terwujud sebagaimana yang kita inginkan. Tidak jarang berujung pada kegagalan. Ambyar. Tidak ada lagi harapan yang tersisa untuk bisa mewujudkannya. Begitulah memang, manusia hanya bisa menyusun rencana, ketetapan Allah bisa meruntuhkannya kapan saja. Karena itu, ada sebuah petuah bijak berkata, “Manusia mengatur rencana, keputusan Allah menertawakannya.” Kita juga kerap mencemaskan berbagai hal dalam kehidupan. Seperti rezeki, jodoh, keturunan, ujian, dan berbagai permasalahan yang kita temui sehari-hari. Padahal menurut Syekh Ibnu Athaillah, hasil dari semua itu sama pastinya dengan ajal yang akan mendatangi kita. Jadi, kita tidak perlu mencemaskan segala sesuatu yang sejatinya telah ditetapkan oleh Allah swt. Meski demikian, bukan berarti kita tidak perlu melakukan usaha atau ikhtiar sama sekali dalam setiap langkah yang akan kita jalani. Sebab, jika kita terlalu menganggap bahwa hidup kita selayaknya wayang, yang segala geraknya ditentukan oleh dalang, kita bisa tergolong sebagai kaum Qadariyah. Sebaliknya, jika kita terlalu berpegang pada ikhtiar dan kemampuan kita sebagai manusia yang lemah ini, kita bisa juga tergolong dalam kelompok Jabariyah. Itulah keistimewaan Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari 1260-1309 M dalam kitabnya ini. Beliau secara pas dan proporsional memadukan antara porsi ikhtiar dan tawakal. Kitab ini berbeda dengan al-Hikam, karya legendaris Ibnu Atha’illah yang menjadi rujukan utama ilmu tasawuf, yang berisi aforisme atau kalam-kalam hikmah pendek saja. Di dalam kitab at-Tanwir ini, Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari menguraikan kalam hikmahnya dengan narasi jelas yang rinci. Mengungkap kunci-kunci mencapai kehidupan yang tenang al-muthmainnah. Kehidupan yang berjalan tanpa rasa cemas dan kekecewaan. Penjelasannya di sini dipaparkan dengan ringan dan mudah dipahami. Sebab keindahan bahasa dan kedalaman makna yang diungkap oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam kitab al-Hikam, disebutkan dalam kitab Iqadh al-Himam fi syarh al-Hikam bahwa, “Seandainya dalam shalat dibolehkan untuk membaca selain ayat-ayat al-Quran, bait-bait dalam kitab ini sangat layak untuk itu.” Sungguh dahsyat memang. Kabar baiknya, dalam kitab at-Tanwir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini, Ibnu Atha’illah tidak berubah. Meski menjelaskan dalam bentuk narasi, beliau tetap menyusun kata demi kata dengan indah dan penuh muatan hikmah. Uraian dalam kitab ini diperkaya dengan banyak petikan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. Sesekali diselingi dengan bait syair gubahannya dan ungkapan ulama yang menggugah nurani. Di tangan Ibnu Atha’illah pula, tasawuf yang terkesan sulit dipahami oleh nalar orang biasa dan cenderung menggunakan bahasa langit, menjadi sangat membumi aplikatif, solutif, dan relevan untuk menjawab berbagai problematika hidup manusia modern saat ini. Terutama menjawab berbagai problem kecemasan yang semakin banyak melanda jiwa-jiwa yang kering dari limpahan kasih-Nya. Jika kita renungi dengan saksama, seperti disebutkan dalam kata pengantar buku versi terjemahan ini, salah satu bait dalam kitab al-Hikam berikut dapat dikatakan sebagai ringkasan atau inti sari dari seluruh pembahasan yang diuraikan dalam kitab at-Tanwir ini, أَرِحْ نــَفْسَـكَ مِنَ الـتَّدْبِــيْرِ، فَمَا قَامَ بِـهِ غَيْرُ كَ عَـنْكَ لاَ تَـقُمْ بِـهِ لِنَفْسِكَ Artinya “Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi dunia, apa yang telah Allah atur tidak perlu kau sibuk ikut campur.” Ibnu Atha’illah mendorong kita untuk memasrahkan urusan duniawi yang sudah Allah atur, dan hendaknya kita tidak perlu kita ikut sibuk mengurusinya. Karena dirasa sangat mewakili kandungan dari kitab ini, penerbit Turos Pustaka menjadikannya inspirasi dalam memberi judul terjemah kitab at-Tanwir ini, “Istirahatkan Dirimu dari Kehidupan Duniawi Apa yang Telah Diatur Allah, Tak Perlu Sibuk Kau Ikut Campur”. Ada banyak sekali jawaban yang dijabarkan oleh Ibnu Athaillah yang sangat relevan dengan beragam persoalan yang kita hadapi hari-hari ini. Tentang rezeki misalnya, sebuah persoalan yang setiap manusia hadapi saat ini. Dengan sangat detail Ibnu Atha’illah berusaha menguraikan mulai dari mengapa Allah memberikan manusia ruang untuk mencari rezeki? Mengapa tidak Allah swt. penuhi saja semua kebutuhannya tanpa perlu mencarinya? Dalam bagian lain Ibnu Athaillah menjelaskan bagaimana Allah menjamin rezeki dan segala kebutuhan hamba-Nya. Dijelaskan juga bagaimana cara seorang hamba untuk menyelaraskan antara ikhtiar dan tawakal dalam segala usaha yang dilakukannya. Di bagian pungkasan, beliau memberi kita doa agar rezeki dan segala usaha kita diberi kelancaran oleh Allah swt. Seperti disebutkan tadi, dalam buku ini Imam Ibnu Athaillah secara garis besar membahas komposisi antara ikhtiar dan tawakal secara proporsional. Atau secara umum, sesuai judulnya, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, membahas tentang tadbir Allah. Seorang ulama sekaligus filsuf muslim pertama di Spanyol, Ibnu Bajjah menjelaskan dalam bukunya Tadbir al-Mutawahhid bahwa kata tadbir sering ini digunakan dengan makna yang berbeda-beda. Namun umumnya dimaknai sebagai, “Mengatur tindakan untuk sebuah tujuan yang direncanakan.” Tadbir digunakan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Karena Allah swt. adalah mudabbir, Yang Maha Mengatur. Sebab demikian, tadbir yang paling hakiki adalah tadbir Allah. Sedangkan penggunaan istilah ini bagi manusia hanya sebagai analogi saja. Di tengah pandemi yang tidak menentu seperti sekarang ini, seringkali perencanaan yang telah kita tentukan tidak dapat direalisasikan, meski segala bentuk ikhtiar telah diupayakan. Hal itu tentu membuat lelah, bahkan tidak jarang berujung kecewa. Kecemasan juga kerap melanda, terutama ketika menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan dunia. Hidup seakan mendadak muram dan berjalan tanpa ada harapan. Buku ini adalah jawaban untuk berbagai problem tersebut, karenanya sangat perlu untuk kita baca dan pelan-pelan amalkan hari ini. Saat ini, setelah segala ikhtiar yang kita lakukan, kita hanya butuh menenangkan jiwa, menepi sesaat dari segala kesibukan dunia, lalu berserah diri pada Allah swt. Dapat disimpulkan bahwa sejatinya manusia tidak sama sekali mempunyai kemampuan untuk mengatur rencana takdirnya. Wilayah manusia hanya sebatas pada ikhtiar dan tawakal. Selebihnya, setelah berusaha dan berikhtiar sekuat tenaga dalam menggapai berbagai urusan dunia, manusia hanya tinggal memasrahkan segalanya kepada Allah swt, Sang Pengatur semesta. Kita tidak perlu sibuk turut serta mengatur hasil akhirnya. Biarkan itu semua menjadi keputusan Allah semata. Dengan begitu, hidup kita akan menjadi lebih tenang dan bahagia. Wallahu a’lam. Peresensi M Farobi Afandi, editor buku dan alumni Pesantren Ciganjur Identitas Buku Judul Istirahatkan Dirimu dari Kesibukan Duniawi Kitab at-Tanwir Penulis Ibnu Athaillah as-Sakandari Penerjemah Zulfahani Hasyim, Lc. Tebal 428 halaman Tahun 2021 Penerbit Turos Pustaka ISBN 978-623-7327-57-8
ArticlePDF Available AbstractThis paper discusses about the concept of makrifat and its relevance to the spiritual in modern era. Sufi’s makrifat is not the result of speculative reasoning, but the result of direct testimony. Therefore, the problem to be answered about the essence and experience of divinity has always been a mystery. By analyzing critically, this study resulted in the finding that the concept of makrifat according to Ibnu Ata Allah is the essence of tauhid that combines Islam, Iman and Ihsan. He has explored the aspects of jadzab’ in reaching makrifat. The spiritual experiences toward the essence of divinity which is not represented in the form of witnessing the absolute oneness syuhūd al-aḥadiyyah became the main characteristic of his makrifat. This condition is contrary to the ideology of modern materialism that nullify the spiritual and assume that the physical world is the essence of everythings. Thus, according to Ibnu Ata Allah, makrifat has found a great momentum wherein it reach this level, ārif must look at the world on Allah’s will. Besides that, an ārif will see at the absolute oneness syuhūd al-aḥadiyah which is outside the scope of human reasoning when they get the level of wusṣūl in makrifat form. The view that be felt by ārif bi Allāh give their psychological side affects. They felt fanā, jam`, ghaibah, sakr and another more perfect condition. The testimony and their spiritual condition affecting their vision on the world. Where they watched fi`l by fi`l, ṣifah by s}ifah also dzāt by dzāt . Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Vol. 14, No. 2, September 2016Konsep MakrifatIbnu Athaillah al-SakandariMoh. Isom Mudin*Universitas Darussalam UNIDA GontorEmail moza_ifa paper discusses about the concept of makrifat and its relevance to the spiritualin modern era. Sufi’s makrifat is not the result of speculative reasoning, but the result ofdirect testimony. Therefore, the problem to be answered about the essence and experienceof divinity has always been a mystery. By analyzing critically, this study resulted in thefinding that the concept of makrifat according to Ibnu Athaillah is the essence of tauhidthat combines Islam, Iman, and Ihsan. He has explored the aspects of jadzab’ in reachingmakrifat. The spiritual experiences toward the essence of divinity which is not representedin the form of witnessing the absolute oneness syuhu>d al-ah}adiyyah became the maincharacteristic of his makrifat. This condition is contrary to the ideology of modernmaterialism that nullify the spiritual and assume that the physical world is the essence ofeverythings. Thus, according to Ibnu Athaillah, makrifat has found a great momentumwherein it reach this level, a>rif must look at the world on Allah’s will. Besides that, an a>rifwill see at the absolute oneness syuhu>d al-ah}adiyah which is outside the scope of humanreasoning when they get the level of wus}u>l in makrifat form. The view that be felt by a>rifbi Alla>h give their psychological side affects. They felt fana>, jam`, ghaibah, sakr andanother more perfect condition. The testimony and their spiritual condition affectingtheir vision on the world. Where they watched fi`l by fi`l, s}ifah by s}ifah also dza>t bydza> Makrifat, Sulu>k, Jadzab, Ah}adiyyah, Ah’.AbstrakTulisan ini membahas tentang konsep makrifat menurut Ibnu Athaillah al-Sakandaridan relevansinya dengan spiritual di zaman modern. Makrifat para sufi bukanlah hasilpenalaran spekulatif, melainkan hasil dari penyaksian langsung. Oleh karena itu, masalahyang akan dijawab tentang hakikat dan pengalaman ketuhanan selalu menjadi menganalisis secara kritis, penelitian ini menghasilkan temuan bahwa konsep* Fakultas Ushuluddin Universitas Darussalam Gontor. Jl. Raya Siman 06, Ponorogo,Jawa Timur 63471. Tlp +62352 483764, Fax +62352 Jurnal Studi Agama dan Pemikiran IslamAvailable at Moh. Isom Mudin156Journal KALIMAHmakrifat Ibnu Athaillah adalah inti tauhid yang menggabungkan Islam, Iman, danIhsan. Ibnu Athaillah mengeksplorasi aspek jadzab’ dalam menggapai spiritual akan hakikat ketuhanan yang tidak tergambarkandalam bentuk penyaksian keesaan mutlak syuhu>d al-ah}adiyyah menjadi ciri utamamakrifatnya. Hal seperti ini sangat bertentangan dengan paham materialisme modernyang menihilkan spiritual dan menganggap bahwa dunia fisik adalah hakikat segalasesuatu. Maka, makrifat Ibnu Athaillah menemukan momentumnya di mana ketikamencapai derajat ini seorang a>rif harus menyikapi dunia ini sesuai kehendak Allah. Disamping itu, para a>rif akan melihat keesaan mutlak syuhu>d al-ah}adiyah, yangjangkauannya berada di luar daya nalar manusia pada saat mereka mencapai tingkatanwus}u>l dalam bentuk makrifat. Penglihatan yang dialami seorang a>rif bi Alla>h tersebut,memengaruhi sisi psikologis mereka. Mereka merasakan fana>, jam`, ghaibah, sakr, dankondisi yang lebih sempurna. Penyaksian dan kondisi spiritual mereka memengaruhipenglihatan mereka pada alam sekitar. Di mana mereka menyaksikan fi`l dengan fi`l,s}ifah dengan s}ifah, serta dza>t dengan dza> Kunci Makrifat, Sulu>k, Jadzab, Ah}adiyyah, Ah’.PendahuluanMemperbincangkan makrifat dalam kajian tasawuf al-marifah al-s}u>fiyyah adalah sesuatu hal yang cukupmenarik, menantang, dan sangat urgen. Menariknyaadalah bahwa al-marifah al-s}u>fiyyah ini bukanlah hasil penalaranspekulatif,1 melainkan hasil dari penyaksian batin secara langsungmusya>hadah.2 Penyaksian batin ini bersifat sangat eksklusif,karena merupakan bentuk dari pengalaman rasa’ dzawq parasufi yang tentunya berbeda antara satu dengan yang lain. Selanjut-nya, pengalaman rasa’ para sufi tidaklah mudah untuk diubahmenjadi sebuah teori, karena meneorikan perasaan dan pengalam-an batin apabila berhasil tentu akan menjadi prestasi yangmempunyai nilai plus’, namun juga bisa menurunkan martabatal-marifah al-s}u>fiyyah’ itu sendiri, karena goresan pena sejatinyakurang memadai pesan-pesan perasaan batin. Itulah sebabnya, para1 William C. Chittick, Sufism a Short Introduction, UK One World Publication,2007, Muhammad al-Adluni al-Idrisi, Mujam Mus}t}ala>h}a>t al-Tas}awwuf al-Falsafiy,Jordan Da>r al-Tsaqa>fah, 2002, 189; Ibrahim Madzkur, Al-Mujam al-Falsafi, Kairo al-Haiah al-Amah, 1983 M/ 1403 H 186-187; Al-Qusyairi, Risa>lah Qusyairiyyah, Edited bySyekh Abd Halim Mahmud bin Syarif, Kairo Da>r al-Syab, 1989 M/1409 H, 176; Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Dira>sa>t fi> al-Falsafah al-Isla>miyyah, Kairo Maktabah al-Qa>hirah al-H{adi>tsiyyah, 1957, 148. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 157Vol. 14, No. 2, September 2016peneliti yang ingin berbicara mengenai al-marifah al-s}u>fiyyah’ditantang memaksakan diri’ untuk bisa merasakan apa yang dirasa-kan sufi yang dibicarakan3 walaupun pada level yang jauh berbedaagar tidak terkungkung dalam penjara makrifat sufi adalah Allah SWT yang bersifat tiadasesuatupun yang serupa dengan Dia’. Keberadaan-Nya di luarjangkauan akal pikiran. Oleh sebab itu, mereka membangun jalantersendiri untuk mencapainya. Dengan jalan yang berbeda tentuhasil makrifat’ tersebut berbeda pula. Mereka wus}u>l’ sampai padaAllah yang membuahkan pengalaman-pengalaman spiritual akanhakikat ketuhanan yang tidak tergambarkan. Salah satu tokoh yangakan dibahas dalam pembahasan ini adalah Ibnu Athaillah al-Sakandari yang mempunyai jalan’ tersendiri dalam tasawuf. Disini, penulis hendak mengetengahkan beberapa persoalan; bagai-mana hakikat makrifat? Bagaimana metode mencapainya, bagai-mana bentuk makrifat tersebut? Bagaimana kondisi spiritual paraa>rif bi Alla>h’?Sekilas tentang Ibnu Athaillah al-SakandariNama le n gkap Ibnu Atha i llah adalah Ahma d binMuhammad bin Abd al-Karim bin Athaillah al-Sakandari al-Malikial-Syadzili, bergelar S{a>h}i>b al-H{ikam’, Ta>j al-Di>n’,Tarjuman al-`An’. Lahir sekitar tahun 657 H-679 H dan wafat pada JumadalAkhir 709 Dengan demikian beliau hidup pada paruh keduaabad ketujuh dan memasuki awal abad kedelapan sosial masyarakat dan keagamaan di mana beliauhidup mempunyai pengaruh besar terhadap pemikirannya. Masya-rakat waktu itu terbagi ke dalam beberapa strata sosial; pemerintah,para intelektual, serta masyarakat Ibnu Athaillah sebagai3 Penelitian jenis seperti ini berhasil dilakukan oleh Imam al-Ghazali sehinggamenghasilkan kesimpulan bahwa sufi adalah kelompok yang paling benar. Lihat Abu Hamidal-Ghazali, Al-Munqidz min al-D{ala>l, Beirut al-Maktabah al-Syabiyah, Ibnu Hajar al-Asqalani, Al-Durar al-Ka>minah fi> Aya>n Miah al-Tsa>minah, Vol. 1,Beirut Da>r al-Ji>l, 1993 M, 273; Abd al-Munim, Al-Mausu>ah al-S{u>fiyyah Ala>m al-Tas}awwuf wa al-Munkiri>n alaih wa al-T}uruq al-S}u>fiyyah, Kairo Dar> al-Irsya>d, 1992,295; Ibnu Farhun al-Maliki, Al-Di>ba>j al-Madzhab fi> Marifah Aya>n Ulama>’ al-Madzhab,Vol. 1, Kairo Da>r al-Tura>ts, 1415 H, 242; Yusuf Ismail al-Nabhani, Ja>mi’ Kara>ma>t al-Awliya>’, Vol. 1, Gujarat Maraz Ahl Sunnat Barakat, 2001, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Ibn At}a>illah wa Tas}awwufuh, KairoMaktabah al-Mis}riyyah, Cet. 2, 1969, 31-32. Moh. Isom Mudin158Journal KALIMAHbagian dari para intelektual berperan aktif terhadap pemerintahdengan memberikan nasihat dan kritik yang Kondisikeagamaan adalah, bahwa mazhab Ahlusunnah waktu itu menjadimazhab resmi Mesir. Dalam masalah us}u>l mengikuti mazhab al-Asy’ari dan dalam masalah furu> mengikuti paradigma mazhabempat. Namun, mazhab mayoritas adalah mazhab Selainitu, juga banyak tokoh-tokoh sufi yang lain, maka tidak heranterdapat berbagai tarekat sufi, di antaranya al-Rifaiyah, al-Badawiyyah, al-Qadiriyyah, al-Syadziliyyah, dan Kondisiso sial k eagamaa n Me sir waktu itu me mbentuk kara intelektual-spiritual Ibnu Athaillah setidaknyaterbagi ke dalam tiga fase. Pertama, sebelum tahun 674 H sebelums}uh}bah’ dengan Syeikh al-Mursi, masa belajar berbagai disiplinilmu seperi Usul Fiqh, Fiqh, Tauhid, Tafsir, Hadis, Balaghah, danlain-lain, hingga beliau menjadi tokoh sentral dalam mazhabMaliki. Namun, beliau masih antipati terhadap tasawuf dan banyakberdebat dengan pengikut Syadziliyah murid-murid Syekh al-Mursi.9 Kedua, setelah tahun 674 H, pada masa ini beliau mengakuikebenaran tasawuf setelah melakukan s}uh}bah’ dengan Syeikh al-Mursi. Selain belajar sulu>k’ dengan Syekh al-Mursi, beliau jugamasih mempelajari berbagai disiplin ilmu sekaligus Ketiga, masa kematangan spiritual-intelektual. Setelah wafat-nya Syekh al-Mursi, beliau menjadi mursyid Tarekat Syadziliyahdan merumuskan dasar-dasarnya. Selain itu, beliau juga aktifmengajar beberapa disiplin ilmu pengetahuan di Universitas al-Azhar dan Universitas al-Mansuriyyah. Di antara mahasiswanyayang terkenal adalah Taqiyyuddin al-Subki H, Daud al-Bakhily, dan Abu Hasan Ibnu Athaillah al-Sakandari, Mifta>h} al-Fala>h} wa Mis}ba>h} al-Arwa>h} fi> Dzikrilla>h al-Kari>m al-Fatta>h}, Beirut Da>r al-Kutub al-Aif al-Mina>n. Edited by Abd Halim Mahmud, Mesir Da>r al-Ma’a>rif, Cet. 3, 2006, Al-Maqrizy, Al-Sulu>k li Marifah Duwal al-Mulu>k, Vol. 1, Edited by M. Abd al-Qadir Atha, Beirut Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997, 520-547; Al-Maqrizy, Al-Mawa>’iz}wa al-Itiba>r bi Dzikr al-Khut}at} wa al-Atsa>r, Vol. 4, Mesir Maktabah Ji>l, 1326 H, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Ibnu At}a>illah..., 62-63; Amir Najjar, Al-T{uruqal-S{u>fiyyah fi> Mis}r Nasyaatuha> wa Naz}muha> wa Wuruduha>, Kairo Da>r al-Maa>rif, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibid., 29, 40, 90, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Ibnu At}a>illah..., 62-63; Ibnu Hajar al-Asqalani,Al-Durar al-Ka>minah..., Vol. 1, 274. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 159Vol. 14, No. 2, September 2016 Ibnu Athaillah meninggalkan sekitar 24 karya merupakan Magnum Opus’ dan sekaligus mewakilimazhab tasawuf beliau. Beberapa karyanya yang lain yang masihbisa ditemukan adalah al-Muna>ja>h al-`At}a>iyyah, Was}iyyah liIkhwa>nihi bi Madi>nah al-Iskandariyah, al-Tanwi>r fi> Isqa>t} al-Tadbi>r,Lat}a>if al-Minan, Ta>j al-`Aru>s al-H{a>wi> li Tahdzi>b al-Nufu>s, al-Qas}dal-Mujarrad fi>Ma’rifat al-Ism al-Mufrad, Mifta>h}al-Fala>h}wa Mis}ba>h}al-Arwa>h}, `Unwa>n al-Tawfi>q fi> Ab al-T{ari>q. Sebagian besar karyabeliau berbentuk risa>lah’ uraian singkat dan padat.Hakikat Makrifat menurut Ibnu AthaillahIbnu Athaillah mendefinisikan makrifat ke dalam beberapaaspek. Pertama, secara etimologi makrifat adalah mencapaipengetahuan terhadap sesuatu terkait diri dan sifatnya sesuaidengan keadaan yang sebenar-benarnya. Kedua, definisi secaraterminologi terbagi ke dalam dua tingkat; khusus dan umum makrifat berarti menetapkan eksistensi Allah,mensucikan-Nya dari segala sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya,dan menetapkan sifat-sifat-Nya dengan sebenar-benarnya sesuaidengan konsep yang digambarkan Allah pada diri-Nya secara khusus makrifat berarti bentuk penyaksian batinterhadap Allah. Definisi lain yaitu bentuk keyakinan yang dihasil-kan dari usaha-usaha Dengan demikian, Ibnu Athaillahmendefinisikan makrifat sesuai dengan stratifikasi spiritual sa>lik’,di mana pada strata pertama hanya bentuk penetapan wujud,penyucian, dan penyifatan. Sementara pada strata kedua denganpenyaksian secara seluruh realitas yang ada dalam pengenalan kepadaAllah menurut Ibnu Athaillah terbagi menjadi tiga. Pertama, tiadasatupun dalam realitas yang tidak mengenal Allah. Seluruh yang adaini mampu mengenal karakter umum nama-nama, sifat-sifat,perbuatan juga karakter zat-Nya. Makrifat inilah yang menjadi ke-wajiban pertama dalam Makrifat ini juga beliau sebut se-bagai ma’rifat al-h}aq’. Namun, istilah ma’rifat al-h}aq’ ini lebih di-tekankan pada objek asma>’ dan sifat Allah SWT tanpa disertai Ibnu Athaillah al-Sakandari, Mifta>h} al-Fala>h}..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Qas}d al-Mujarrad fi> Marifah al-Ism al-Mufrad,Edited by Mahmud Taufiq al-Hakim, Mesir Maktabah Madbu>li, 2002, Ibid., 139. Moh. Isom Mudin160Journal KALIMAHKedua, tiada satupun realitas yang ada dapat mengenal ini dari aspe k ih}a>t}ah’.15 Pengetahuan inimeliputi esensi dan eksistensi zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Secararasio murni, mengenal Pencipta yang bersifat wujud absolut wuju>dal-mut}laq, tanpa permulaan dan akhiran, serta Esa dalam segalaaspeknya adalah nihil, karena termasuk dalam kategori al-ih}a>t}ah’objek dengan subjek-Nya ih}a>t}ah al-maf`u>l bi fa>’ilihi. Makrifat initidak mungkin bagi makhluk namun wajib bagi Allah, karena Diayang mengetahui secara absolut tanpa Makrifat ini juga iasebut dengan ma’rifat h}aqi>qah’. Namun, istilah ini lebih ditekankanpada objek zat Allah yang mengenal Allah hanya Allah. Pengetahuan inidari aspek penguatan informasi mutlak dengan pengetahuanmutlak tah}qi>q al-ih}a>t}ah bi ilmihi al-mut}laq. Allah mewujudkansegala yang wujud, mengadakan dan mengatur segala yang demikian, objek makrifat yang dikenal adalah zat,nama, sifat, dan perbuatan Allah. Seluruh realitas ciptaan-Nyamampu mengenal objek makrifat tersebut dengan kelemahanuntuk mengenal eksistensi dan esensi mutlak-Nya. Seluruhmakhluk tidak akan mampu mengetahui tentang esensi Tuhansesuai dengan pengetahuan Tuhan. Oleh sebab itu, Allah SWTdalam hal ini menjadi Subjek yang mengenal’ dan sekaligusmenjadi Objeknya sendiri yang dikenal’.Tampaknya, pembagian dalam kemungkinan pengenalanterhadap Allah ini juga dilakukan para sufi lain walaupun tidakpersis sama. Sufi-sufi tersebut seperti al-Kalabadzi, al-Thusi, danal-Kamsykhawi al-Naqsyabandi. Manusia hanya berkemungkinanmenetapkan sifat keesaan wah}da>niyyah sesuai dengan sifat-sifatAllah, makrifat yang seperti ini disebut ma’rifat al-h}aq’. Adapunsecara hakiki mereka tidak bisa mencapainya karena terhalang sifatal-s}amadiyyah’ dan hakikat ketuhanan secara mutlak tah}aqquq15 Al-Ih}a>t}ah adalah mempersepsikan idra>k sesuatu dengan sempurna baik luarmaupun dalam z}ahi>ran wa ba>t}inan, mengetahui sesuatu dari segala aspeknya. LihatMuhammad al-Adluny al-Idrisy, Mujam Mus}t}alah}a>t..., 10. Juga berarti mengetahui hakikatwujud objek, jenis objek, kadar materi objek, karakter objek, tujuan yang terbesit objek,segala yang ada tentang manfaat dan tidak bermanfaat bagi objek. Lihat Abu al-Baqa al-Kafawy, Mujam al-Kulliya>t fi> al-Mus}t}alah}a>t wa al-Furuq al-Lughawiyyah, Edited by AdnanDarwis dan Muhammad al-Musry, Beirut Muassasah al-Risa>lah, 1997, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Qas}d al-Mujarrad..., Ibid., Ibid., 135. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 161Vol. 14, No. 2, September 2016al-rubu>biyyah an al-ih}a>t}ah.19 Tetapi Ibnu Athaillah menjelaskanlebih terpernci dan adanya penambahan tah}qi>q al-ih}a>t}ah bi `ilmihial-mut}laq yang tidak dijelaskan sufi dan Jadzab; Sebuah Jalan PencapaianUntuk mencapai makrifat, para sufi umumnya menggunakanjalan sulu>k’. Dengan jalan ini, seorang sa>lik’ harus melewati jalanpanjang t}ari>qah, menempuh stasiun-stasiun spiritual maqa>ma>t,dan merasakan kondisi-kondisi jiwa ah}wa>l’, tentu dengan bentukpenyucian-penyucian diri tazkiyyah al-nafs dan olah batinriya>d}ah. Sehingga, dengan penyucian-penyucian tersebut, seorangsufi dapat sampai dalam bentuk makrifat Dengankata lain, sebagaimana ungkapan Ibnu Athaillah, jalan ini diawalidengan mu’a>malah’ dan berakhir dengan muwa>s}alah’.21Selain itu, para sufi juga menggunakan fenomena alam untukmengenal Allah. Hal ini seperti pernah dikatakan oleh Dzun al-Nunal-Mishri w. 145 bahwa mengenal Allah adalah dengan melaluibukti Imam al-Ghazali juga menyebutkan bahwajalan untuk mengenal Allah dan mengagungkan-Nya berada padamakhluk-makhluk-Nya, dengan memikirkan keajaiban Perwujudan alam makhlu>q adalah bukti perwujudan namaAllah. Perwujudan nama-nama-Nya adalah bukti perwujudanadanya sifat-Nya. Perwujudan tetap sifat-sifat-Nya adalah buktiperwujudan zat-Nya. Hal ini karena, mustahil sifat tersebut adadengan sendirinya tanpa ada zat yang disifati; yaitu Abu Bakar al-Kalabadzi, Al-Taarruf li Madzhab Ahl al-Tas}awwuf, Beirut Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, 151; Abu Nashr Siraj al-Thusi, Al-Luma fi> al-Tas}awwuf, Editedby Abd Halim Mahmud and Abd al-Baqi al-Surur, Kairo Da>r al-Kutub al-H{adi>tsiyyah,1960, 5; Al-Kamsykhawi Naqsyabandi, Ja>mi al-Us}u>l fi> al-Awliya> wa Anwa>ihim waAws}a>fihim wa Us}u>l Kulli T{ari>qin wa Muhimmah al-Muri>d wa Syuru>t} al-Syaikh wa Kalimahal-S{u>fiyyah wa Is}t}ila>h{uhum wa Anwa> al-Tas}awwuf wa Maqa>ma>tuhum, Mesir al-Mat}baahal-Wahbiyyah, 1298 H, Abu al-Wafa al-Ghanaimi al-Taftazani, Dira>sa>t fi>..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Abd al-Qahir Mahmud, Falsafah al-S{u>fiyyah fi> al-Isla>m, Kairo Da>r al-Fikr al-Araby, 1966, Abu Hamid al-Ghazali, Al-H{ikmah fi> Makhlu>qa>t Alla>h Azza wa Jalla, KediriMuhammad Utsman, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah al-Kubra wa al-S}ugra wa al-Muka>taba>t, Beirut Da>r al-Kutub al-`Alamiyyah, 2006, 52-53. Argumen seperti ini jugadisebut itsba>t wuju>dillah’, setidaknya, ada tiga argument yang digunakan para filsuf danmutakalim 1 argumen keberadaan alam cosmology, 2 argumen sebab akibat causality, Moh. Isom Mudin162Journal KALIMAHJalan suluk yang digunakan tersebut di atas mendapat kritik-an filosofis-estetis dari Ibnu Athaillah. Menurutnya, jalan suluktersebut mempunyai kelemahan-kelemahan yang berkisar padasarana pembuktian mustadal bih dan pencari bukti mustadilalaih. Pertama, mustadal bih’ dalam jalan suluk adalah keberadaanalam yang mustahil bisa mengantarkan untuk mengenal adalah karena fenomena alam itu sendiri wujudnyamasih membutuhkan Allah. Bagi Ibnu Athaillah, seluruh eksistensiyang ada masih tergantung pada eksistensi Allah. Eksistensi yangada sebenarnya tidak lebih jelas dibanding Allah, sehingga manamungkin sesuatu tidak jelas mengantarkan kepada sesuatu yanglebih jelas. Allah juga tidak pernah tidak hadir dan selalu dekat,sehingga tidak perlu menggunakan instrumen sekunder berupakeberadaan alam untuk membuktikan kehadiran-Nya dan untuksampai kepada-Nya. Dengan kata lain, keberadaan Allah tidak perlupembuktian lagi karena Dia lebih jelas daripada bukti itu mustadil alaih’ menunjukkan kelemahan dirinya. Denganmenggunakan sarana sekunder menunjukkan bahwa merekabelum mencapai wus}u>l’ dan masih tergolong ahl h}ija>b’.25Selanjutnya, Ibnu Athaillah mengembangkan jalan tersendiriuntuk mencapai makrifat. Jalan ini disebut al-jadzab’ tarikanmetafisis dan sufi yang menggunakan jalan ini disebut arba>b al-jadzb’ atau majdzu>bi>n’. Jalan ini merupakan kebalikan jalan sejak permulaan perjalanannya, seorang sufi di-jadzab-kan oleh Allah dengan disingkapkan kesempurnaan zat-Nyasehingga langsung mengenal-Nya. Setelah mereka ditarik’langsung oleh Allah, baru kemudian melalui Allah, mereka akandikembalikan untuk menyaksikan sifat-Nya, lalu dikembalikanuntuk bergantung pada nama-Nya, kemudian dikembalikan untukmenyaksikan alam-Nya. Ibnu Athaillah mengistilahkan perjalananjadzab’ dengan penurunan tadally.2 6Seorang majdzu>b terlebih dahulu sampai kepada Allah, laludia secara perlahan-lahan dikembalikan oleh Allah ke jalandan 3 argumen kemungkinan contingency. Lihat Ibnu Sina, Kita>b al-Naja>t, Edited byMajid Makhri, Beirut Da>r al-Aq al-Jadi>dah, 1985 M, 276-277; Al-Syahrastani, Al-Milalwa al-Nih}al, Vol. 1, Kairo Muassasah al-H{alaby, 1968, 94; Ibnu Sina, Al-Isya>rat wa al-Tanbi>ha>t, Edited by Sulaiman Dunya, Mesir Da>r al-Ma`a>rif, 1957, Kesimpulan ini diambil dari hikmah dan munajatnya. Lihat Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 9, 19, 29, Ibid., 52-53. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 163Vol. 14, No. 2, September 2016mu’a>malah’.27 Jadi, dalam jalan jadzab ini bukan sufi yang inginmengenalkan dirinya pada Allah, tetapi Allah-lah yang inginmemperkenalkan diri-Nya pada hamba Ibnu Athaillah jalan ini lebih sempurna dibandingjalan para sufi umumnya. Pertama, hal ini karena dalam jalan jadzabseorang sufi mengerti kebenaran bagi pemiliknya, sehinggamenetapkan segala sesuatu dengan merujuk kepada pengenalan pada Allah dengan Allah sendiri, Allah sebagaiobjek juga sebagai sarana primer. Para arba>b al-jadzb sebenarnyatelah wus}u>l pada Menurut Ibnu Athaillah Seorang majdzu>b sebenar-nya juga melewati fase-fase spiritual, namun perjalanan dilakukanlebih cepat karena jalan jadzab ini pada hakikatnya jalan yang dilipattuwiyat oleh ina>yah Allah, bahkan tanpa persiapan membuat perumpamaan sufi suluk mencari air denganmenggali sumur sedikit demi sedikit, sehingga air keluar darilubang sumbernya. Sementara ini sufi jadzab seperti orang yangmencari air, tiba-tiba turun awan menurunkan hujan lebatpadanya, dan ia mengambil air seperlunya tanpa perlu antara kedua kelompok dan jalannya, konsep jadzab inilahyang mencirikan aliran tasawuf Ibnu Athaillah secara khususdengan sufi-sufi yang Menurut Syekh Zaruq, kedua jalan,suluk maupun jadzb adalah representasi tingkat ihsan’. Ihsanadalah engkau menyembah Allah seperti engkau melihat-Nya,apabila engkau tidak sanggup melihat-Nya, maka Dia Dalam hadis ini, ihsan tingkat pertama adalah sepertimelihat Allah dan yang kedua adalah merasa dilihat yang jadzab seperti melihat Allah adalah kelompokorang-orang yang telah mengenalnya di awal suluk. Kelompok sa>likadalah kelompok yang masih berada di bawah peringkat kelompok27 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 9, 29; Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Muna>ja>h al-Ilahiyyah, Munajat 19, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Ta>j al-Aru>s al-H{a>wi> li Tahdzi>b al-Nufu>s, KairoJawa>mi` al-Kalim, Ibnu Ibad al-Arundi, Ghaits Mawa>hib al-ASyarh} al-H{ikam al-At}a>iyyah,Jil. 2, Indonesia Da>r Ih}ya> al-Kutub al-Arabiyyah, Abu al-Husain Muslim, S{ah}i>h} Muslim, Riyadh Bait al-Afka>r al-Dauliyyah, 1998,6. Moh. Isom Mudin164Journal KALIMAHarif yang merasa dilihat Allah. Ia membuktikan Allah melalui pertama inilah yang ditempuh oleh Ibnu Athaillah danpara sufi dari kalangan Syadzi Den gan demikian,walaupun Ibnu Athaillah membangun jalan makrifat dengan jadzab,namun beliau tidak mengingkari jalan Makrifat; Penyaksian Keesaan MutlakMe n urut Ibnu Athaillah, Allah SWT mem iliki s ifatah}adiyyah’. Kata ini terbentuk kata al-ah}ad’ yang bemaknakesendirian mutlak dalam keesaan dengan tiada sesuatupun yangbersama-Nya’, al-ah}ad’ juga merupakan istilah yang digunakanuntuk menafikan keterbilangan Menurut Ibnu`Arabi, al-ah}adiyyah adalah martabat zat absolut. Allah dalammartabat ini merupakan wujud tunggal dan mutlak, yang belumdihubungkan dengan nama, sifat, dan sandaran, tidak menerimapembagian’. Jadi ah}adiyyah adalah totalitas dari potensi majmu>`kullihi bi al-quwwah.35 Allah ada dalam azali dengan tiada sesuatu-pun yang bersama-Nya, sifat ini tidak berubah dan selalu tetapseperti keadaan Keesaan mutlak ini tidak terjangkau olehangan-angan, akal pikiran yang mencapai tahapan makrifat akan menyaksikan sifatkeesaan Allah secara mutlak ini38 dengan h}aqq al-bas}i>rah’, bukandengan indra zahir atau spekulasi akal. Dalam pandangan matabatin seorang arif akan selalu terbesit bahwa hanya Allah-lah yangberhak menyandang sifat wujud absolut. Wujud segala sesuatuselainnya hanya bersifat relatif muqayyad,3 9 banyangan semuz}ill, nihil adam, bagaikan debu di udara al-haba’ fi> al-hawa.Hal ini Karena wujud relatifnya diwujudkan oleh Allah40 denganproses i>ja>d’ dan keberlangsungan wujudnya hanya karena Allahdengan adanya proses imda>d’.41 Oleh sebab itu, dalam tahap33 Zaruq al-Affasy, Qawa>id al-Tas}awwuf..., Ibnu Mandzur, Lisa>n al-Arab, Kairo Da>r al-Ma`a>rif, 35. Ibnu Arabi,Fus}u>s al-H{ikam, Edited by Abu al-Ala al-Fifi, Beirut Da>r al-Kita>b al-’Arabiyyah, Ibnu Araby, Fus}u>s..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 11, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Qas}d al-Mujarrad..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Tanwi>r fi> Isqa>t} al-Tadbi>r, Kairo Da>r al-Sala>tsah, 2007, Ibnu Athaillah, Al-Qas}d al-Mujarrad fi>..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 15, 33, 97, 98. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 165Vol. 14, No. 2, September 2016ontologis, wujud segala yang ada dengan sendirinya akan terhapuskerena sifat ah}adiyyah’ Karena dalam tahap ini apabilamasih ada wujud lain bersama’ wujud Allah, maka sifat ah}adiyyah’tidak terealisasikan, konsekuensinya akan ada sifat keterbilangandan kebersekutuan dalam diri proses syuhu>d al-ah}adiyyah’, juga tersingkap hakikatketuhanan secara global. Sehingga mereka tidak mengerti maksudketersingkapan tersebut. Hal ini karena bentuk kuantitas ataukualitas ketersingkapan tersebut berada di luar nalar akal setelah proses ketersingkapan tersebut terjaga baru seorangarif akan mengerti maksudnya secara syuhu>d al-ah}adiyyah’ Ibnu Athaillah sebenarnya tidakjauh berbeda dengan sufi-sufi yang lain. Misalnya Imam al-Ghazalimenyebut tingkatan ini sebagai fana> fi> al-tawh}i>d’ atau tawh}i>d al-muqarrabi>n’.45 Al-Attas menyebutnya The Unity of Existence’. Lebihjauh al-Attas menggambarkan bahwa tahapan ini disepakati olehmayoritas sufi seperti Junaid al-Baghdadi, Abu Nashr al-Sarraj, Alial-Hujwiri, Abu al-Qasim al-Qushayri, Abd Allah al-Ansari, al-Ghazali, Ibnu Arabi, Sadr al-Din al-Qunyawi, Abd Razaq al-Qashani,Dawud al-Qasyari, dan Abd al-Rahman Ibid., 46, Ibnu Ibad al-Arundy, Ghaits Mawa>hib al-Aliyyah…, Jil. 1, 103-104; Abu Hamidal-Ghazali, Misyka>t al-Anwa>r, Edited by Abd al-Aziz Izzu al-Din al-Siruwan, Beirut Ab, 1986 M, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 32, 141. Hal ini juga diaminioleh sufi yang lain seperti Imam al-Qusyairi. Lihat Zaruq al-Afasi, H{ikam al-At}a>iyyah,Kairo Da>r al-Syu’aib, 1985, Abu Hamid al-Ghazali, Ih}ya> Ulu>m al-Di>n, Jil. 4, Semarang Usaha Keluarga, 240; Abu Hamid al-Ghazali, Misyka>t..., Ia mengatakan “This School this school presented type of intuition of existensepresented the vision of reality as as they envisaged it based on the second type of intuition ofexistence. They affirmed the transcendent unity of existence wah}da>t al-Wuju>d. Among thenotable early representatives of this school after Junaid were Abu Nashr al-Sarraj, Ali al-Hujwiri, Abu al-Qasim al-Qushayri and Abd Allah al-Ansari. To this school also belonged al-Ghazali. But their chief exponent was Ibnu Arabi, who first formulated what originally given inintuition of existence into an intregated metaphisics expressed in rational and intellectual his erudite commentators were Sadr al-Din al-Qunyawi, Abd Razaq al-Qashani,Dawud al-Qasyari, Abd al-Rahman al-Jami; and his doctrine of the Perfect Man al-Insa>n al-Ka>mil was developed by Abd al-Karim al-Jili. The philosophical expression of transcendentunity was formulated by Shadr al-Din al-Shirazi, called Mulla Shadra, whose metaphisicsbears marked traces of the thoughts of Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Araby, and Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam an Expositionof the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur ISTAC, 1995, 214-215. Moh. Isom Mudin166Journal KALIMAHKondisi SpiritualPenyaksian atas keesaan mutlak syuhu>d al-ah}adiyyah yangdialami seorang a>rif bi Allah’ memengaruhi sisi psikologis Athaillah menyebutkan bahwa tingkatan kondisi psikologisseseorang; pertama, mereka tenggelam dalam cahaya tauhid,sehingga segalanya menjadi sirna. Dengan kata lain, ketidaksadaranakan sekitar sakr mengalahkan kesadaran sahw mereka,penyaksian tunggal jam` mangalahkan penglihatan pada makhlukfarq, fana>`nya mengalahkan baqa>’, ketidakhadiran bersamamakhluk ghaibah mengalahkan hadirnya mereka h}ud}u>r.47Setelah keadaan ini berlangsung, apabila dia sadar maka akan naikke kelompok kedua, namun dimungkinkan mereka tidak di-kembalikan sebagaimana keadaan tingkatan a>rif bi Alla>h’ yang kedua lebih sempurnadibanding yang pertama. Kelompok ini juga merasakan apa yangdirasakan oleh kelompok pertama, namun mereka disadarkan olehAllah, setelah sakr mereka juga mengalami sahw, setelah ghaibahmereka juga mengalami h}ud}u>r, sehingga jam’ tidak menghalangifarq ataupun sebaliknya. Begitu kondisi-kondisi yang lain sepertifana>’ dan baqa>’.49 Namun, kesadaran pertama mereka memilikiperbedaan dengan kesadaran yang kedua, mereka selalu bersamaAllah dalam segala Sehingga, mereka dapat mengendali-kan pikiran kesadaran akan al-atsar ini memiliki perbedaandengan penglihatan sebelum mencapai makrifat. Mereka kembalidengan memakai cahaya kiswah al-anwa>r dan hidayah penglihatanbatin hida>yah al-istibs}a>r. Sehingga mereka kembali kepada Allahda ri al-atsar terseb ut sebaga imana mereka m e n uju Allahmeninggalkan al-atsar. Jadi, hati mereka sudah tidak terbelenggudan tertawan oleh sisi lain, terjadi perbedaan ungkapan dalam meng-ekspresikan hakikat yang tersingkapkan pada mereka. Ekspresiini dalam istilah Ibnu Athailah disebut “al-isya>rah” dan “al-’iba>rah”.47 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Muka>taba>t..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Muna>ja>h..., 73, 21. Kondisi seperti ini dalamistilah Sayyid Naquib al-Attas disebut first separation’ al-farq al-awwal dan secondseparation’ al-farq al-tsa>ni>. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena…, 178. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 167Vol. 14, No. 2, September 2016Kelompok pertama sering tidak bisa mengendalikan gejolak jiwamereka karena menerima tajalli yang tidak tergambarkan faid}a>nwujd.52 Tak jarang ketika sampai pada tahap tertentu sering keluarekspresi-ekspresi spiritual yang sulit dicerna syat}a>h}at karenatarikan Kebanyakan ekpresi ini diingkari oleh orangyang Kondisi ini tidak terpuji karena berusahamengungkap rahasia ketuhanan padahal mereka belum itu mereka sebenarnya belum sempurna karena meng-anggap bahwa Allah lebih dekat daripada ekspresi tersebut, artinyamasih terdapat rukun’ kelompok kedua, mereka dapat menguasai dirimereka dalam proses tajalli. Mereka fana dari kefanaan,57 merekada lam ekstra kedekatan sehi ngga tidak merasakan Lisan terkunci tanpa Isya>rah akan hakikatketuhanan tersebut tidak terucap ketika tajalli namun merekakeluarkan ketika perlu, adakalanya untuk memberikan bimbinganke pada mur Ekspresi ini bai k is ya>ra h maupun iba>ra hkebanyakan diterima oleh siapa yang mendengar,61 karena ekspresitersebut dapat dipahami orang Ibnu Athaillah mengambiljalan moderat dalam isya>rah, yaitu secara lahir ada perpisahannamun secara batin merasakan hal tersebut al-farq ala lisa>nikmauju>dan wa al-jam’ fi> bat}i>nik mayhu>da.6352 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 40, Contoh syat}a>h}at, seperti aku bukan aku aku aku, karena aku adalah Dia, akuDia’, Ungkapan ini sering dialamatkan kepada Abu Yazid, lihat Qasim Muhammad `Abbas,Abu> Yazi>d al-Bust}a>miy al-Majmu>`ah al-S}u>fiyyah al-Ka>milah, Damaskus al-Mada>, 2004,42; Aku yang Maha Benar` Ana al-H}aq, lihat Lois Massignon, Di>wa>n al-Halla>j, ParisMansyurat Asmar, 2008, 22. Tiada sesuatu dalam diri ini kecuali Allah’ ma> fi> al-jubbahilla Alla>h, lihat al-Syarqawi, Syarh} al-H}ikam bi Ha>misy Syarh} al-H}ikam Ibn Iba>d, Jil. 2,Indonesia Da>r Ih}ya> al-Kutub al-Arabiyyah, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if ..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 40, 184, Ibid., 20, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Mifta>h} al-Fala>h wa Mis}ba>h}..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 20, Ibid., 40, 184, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 40, 184, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., 159-160. Moh. Isom Mudin168Journal KALIMAHTersingkapnya HijabDengan demikian dapat dikatakan hijab antara seorang a>rifbi Allah dengan Allah sudah terbuka. Dalam hal ini Ibnu Athaillahmenyebutkan sepuluh sebab kondisi tersingkapnya hijab arif menyaksikan Allah karena beberapa hal, pertama,Allahlah yang menampakkan segala sesuatu. Kedua, Dia tampakpada segala sesuatu. Ketiga, Dia ada dalam segala sesuatu. Keempat,Dia tampak untuk segala sesuatu. Kelima, Dia tampak sebelumsegala sesuatu. Keenam, Dia lebih tampak dari segala Dia Esa tanpa ada sesuatu yang bersama-Nya. Kedelapan,Dia lebih dekat dari segala sesuatu. Kesepuluh, jika bukan karenaDia, segala sesuatu tidak akan terwujud. Proses tersingkapnya hijabini merupak an bukti kekuasaan Tuhan, kare na bagaima nakeberadaan wuju>d bisa tampak dalam ketiadaan adam. Atau,bagaimana mungkin sesuatu yang baru bisa bersanding denganyang Maha Allah dalam Setiap TindakanPenyaksian a>rif bi Alla>h terhadap cakarawala al-kaun danal-atsar terbagi menjadi beberapa bentuk; menyaksikan Allahdalam segala sesuatu,65 menyaksikan Allah pada atau bersama segalasesuatu, menyaksikan Allah sebelum melihat segala sesuatu,menyaksikan Allah setelah melihat segala sesuatu. Hal ini karenapenglihatan batin mereka merasakan bahwa keberadaan alam iniawalnya gelap kemudian diterangkan oleh cahaya masing-masing penyaksian ini adalah pertama,mereka melihat Allah sebagai Zat yang Maha Jelas al-Z{a>hir danber-tajalli dengan asma dan sifat-Nya dalam segala mereka mengatakan, “Aku tidak melihat segala sesuatukecuali aku melihat Allah di dalamnya.” Penyaksian seperti ini jugadisebut musya>hadah fi`l bi fi`l’. Kedua, mereka melihat Allah sebagaiZat yang Maha Mengetahui al-Adir, segalayang ada sangat bodoh dan lemah. Penyaksian seperti ini jugadisebut musya>hadah s}ifah bi s}ifah’ sehingga mereka mengatakan,“Aku tidak melihat segala sesuatu kecuali aku melihat Allahbersamanya.” Ketiga, mereka melihat Allah sebagai Wuju>d Qidam’,64 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 6, Ibid., Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 169Vol. 14, No. 2, September 2016segala yang ada hanya bersifat baru dan nihil al-h}udu>ts wa al-adam, sehingga mereka mengatakan, “Aku tidak melihat segalasesuatu kecuali aku melihat Allah sebelumnya.” Penyaksian sepertiini juga disebut musya>hadah Dzat bi Dzat’. Keempat, merekamelihat Allah sebagai wujud yang Kekal Baqa>’, segala yang adahanya fatamorgana fana>’, sehingga mereka mengatakan, “Akutidak melihat segala sesuatu kecuali aku melihat Allah sesudahnya.”Penyaksian seperti ini tidak terdeteksi oleh isya>rah dan iba> pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa makrifatpara sufi bukanlah hasil penalaran spekulatif melainkan hasil daripenyaksian langsung terhadap Allah SWT. Makrifat adalahmenetapkan eksistensi Allah, transendensi kesucian, sifat-sifatdengan sebenarnya, juga bentuk penyaksian batin dan keyakinansebagai buah dari ibadah. Inti makrifat adalah kelemahan untukmencapai makrifat hakiki, karena yang dapat mengenal Allahhanyalah Allah sendiri, sedangkan makhluk hanya dapat mengenal-nya s esuai kemampuan mereka, maka kele mahan dala mbermakrifat adalah jalan yang dapat ditempuh bisa dengan jalan normalsuluk atau jalan tarikan langsung jadzab’. Dalam pandangan IbnuAthaillah jalan jadzab lebih utama dibandingkan dengan mereka dapat mengenal Allah lebih cepat dibanding jalansuluk. Jalan suluk maupun jadzab ini adalah representasi dari duatingkatan ihsan. Namun demikian, belum ditemukan dengan jelaslangkah formal meniti jalan jadzab. Jalan suluk ini bisa dilalui olehsiapapun sehingga bisa diterapkan dalam masyarakat. Tidakde mikian den gan jadzab, jal an ini sulit dite r apkan dal mencapai tahap wus}u>l dalam bentuk makrifat, paraarif akan menyaksikan keesaan mutlak syuhu>d al-ah}adiyah yangberada di luar jangkauan akal dan logika pikiran. Mereka menyaksi-kan dengan h}aqq al-bas}i>rah’ mereka. Penyaksian atas keesaan66 Ibnu Athaillah, al-Qas}d al-Mujarrad..., 22, 23. Apabila ditelusuri lebih lanjut,proses penggabungan penyaksian Allah dan alam ini berasal dari Syaikh Ibnu Masyis,guru dari generasi pertama Tarekat Syadziliyyah. Lihat Abd Halim Mahmud, Qad}iyyahal-Tas}awwuf al-Madrasah al-Sya>dziliyyah, Kairo al-Maktabah al-Taufi>qiyyah, 2010, 19. Moh. Isom Mudin170Journal KALIMAHmutlak syuhu>d al-ah}adiyyah yang dialami seorang a>rif bi Alla>hmemengaruhi sisi psikologis mereka. Pertama, mereka merasakanfana>’, jam`, ghaibah, sakr, dan kondisi yang lebih sempurna adalahpenggabungan fana>’ dan baqa>’, sakr dan shahw, ghaibah dan hud}u>r,jam` dan farq. Penyaksian dan kondisi spiritual mereka meme-ngaruhi penglihatan mereka pada alam sekitar. Di mana merekamenyaksikan fi`l dengan fi`l, s}ifah dengan s}ifah, dza>t dengan dza> Allah di segala sesuatu, dalam segala sesuatu, sebelumalam, sesudah segala sesuatu. Secara keseluruhan teori makrifatIbnu Athaillah adalah inti tauhid yang menggabungkan Islam,iman, dan saran-saran adalah sebagai berikut; tasawuf merupa-kan roh peradaban Islam, oleh sebab itu, mengkaji dan menerapkan-nya dalam kehidupan merupakan sebuah keniscayaan. Sejauh ini,banyak peneliti yang antipati terhadap tasawuf dan menghakimi sufidengan sesat bahkan kufur, atau yang menelan mentah-mentahajarannya sesuai makna literal kalimat. Maka sebaiknya, peneliti harusmemahami bahasa mereka dan merasakan apa yang mereka PustakaAbbas, Qasim Muhammad. 2004. Abu> Yazi>d al-Bust}a>miy al-Majmu>ah al-S{u>fiyyah al-Ka>milah. Damaskus al-Mada>.Abd al-Munim, 1992. Al-Mausu>ah al-S{u>fiyyah Ala>m al-Tas}awwufwa al-Munkiri>n alaih wa al-T{uruq al-S{u>fiyyah. Kairo Dar> al-Irsya> Zaruq. 1985. H{ikam al-At}a>iyyah. Kairo Da>r al-Syu’ Ibnu Ibad. Ghaits Mawa>hib al-A Syarh}al-H{ikam al-At}a>iyyah, Jil. 2. Indonesia Da>r Ih}ya> al-Kutubal- Ibnu Hajar. 1993. Al-Durar al-Ka>minah fi>Aya>n Miahal-Tsa>minah, Vol. 1. Beirut Da>r al-Ji> Syed Muhammad Naquib. 1995. Prolegomena to theMetaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Elementof the Worldview of Islam. Kuala Lumpur William C. 2007. Sufism a Short Introduction. UK OneWorld Abu Hamid. 1986. Misyka>t al-Anwa>r, Edited by Abdal-Aziz Izzu al-Din al-Siruwan. Beirut Ab. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 171Vol. 14, No. 2, September 2016. Al-H{ikmah fi> Makhlu>qa>t Alla>h Azza wa Jalla. KediriMuhammad Utsman.. Al-Munqidz min al-D{ala>l. Beirut al-Maktabah al-Syabiyah.. Ih}ya>Ulu>m al-Di>n, Jil. 4. Semarang Usaha Arabi. Fus}u>s al-H{ikam, Edited by Abu al-Ala Da>r al-Kita>b al-’ Manzur. Lisa>n al-Arab. Kairo Da>r al-Ma’a> Sina. 1957. Al-Isya>rat wa al-Tanbi>ha>t, Edited by SulaimanDunya. Mesir Da>r al-Maa>rif.. 1985. Kita>b al-Naja>t, Edited by Majid Makhri. Beirut Da>ral-Aq al-Jadi> Muhammad al-Adluni. 2002. Mujam Mus}t}ala>h}a>t al-Tas}awwuf al-Falsafiy. Jordan Da>r al-Tsaqa> Abu al-Baqa.1997. Mujam al-Kulliya>t fi> al-Mus}t}alah}a>twa al-Furuq al-Lughawiyyah, Edited by Adnan Darwis danMuhammad al-Musry. Beirut Muassasah al-Risa> Abu Bakar. 1993. Al-Taarruf li Madzhab Ahl al-Tas}awwuf. Beirut Da>r al-Kutub al- Ibrahim. 1983 M/1403 H. Al-Mujam al-Falsafi. Kairoal-Haiah al- Abd al-Qahir. 1966. Falsafah al-S{u>fiyyah fi> al-Isla> Da>r al-Fikr al- Abd Halim. 2010. Qad}iyyah al-Tas}awwuf al-Madrasahal-Sya>dziliyyah. Kairo al-Maktabah al-Taufi> Ibnu Farhun. 1415 H. Al-Di>ba>j al-Madzhab fi> MarifahAya>n Ulama>’ al-Madzhab, Vol. 1. Kairo Da>r al-Tura> 1326 H. Al-Mawa>’iz} wa al-Itiba>r bi Dzikr al-Khut}at}wa al-Atsa>r, Vol. 4. Mesir Maktabah Ji>l.. 1997. Al-Sulu>k li Marifah Duwal al-Mulu>k Vol. 1. Editedby M. Abd al-Qadir Atha. Beirut Da>r al-Kutub al- Lois. 2008. Di>wa>n al-Halla>j. Paris Mansyurat Abu al-Husain. 1998. S{ah}i>h} Muslim. Riyadh Bait al-Afka>ral-Dauliyyah. Moh. Isom Mudin172Journal KALIMAHAl-Nabhani, Yusuf Ismail. 2001. Ja>mi’ Kara>ma>t al-Awliya>’, Vol. Maraz Ahl Sunnat Amir. Al-T{uruq al-S{u>fiyyah fi> Mis}r Nasyaatuha> waNaz}muha>wa Wuru>duha>. Kairo Da>r al-Maa> Al-Kamsykhawi. 1298 H. Ja>mi al-Us}u>l fi> al-Awliya>wa Anwa>ihim wa Aws}a>fihim wa Us}u>l Kulli T{ari>qin waMuhimmah al-Muri>d wa Syuru>t} al-Syaikh wa Kalimah al-S{u>fiyyah wa Is}t}ila>h}uh um wa Anwa> al-Tas}awwuf waMaqa>ma>tuhum. Mesir al-Mat}baah 1989 M/1409 H. Risa>lah Qusyairiyyah. Edited bySyekh Abd Halim Mahmud bin Syarif. Kairo Da>r al-Sya Ibnu Athaillah. 2002. Al-Qas}d al-Mujarrad fi> Marifahal-Ism al-Mufrad, Edited by Mahmud Taufiq al-Hakim. MesirMaktabah Madbu>li.. 2006. Al-H{ikam al-At}a>iyyah al-Kubra wa al-S{ugra wa al-Muka>taba>t. Beirut Da>r al-Kutub al-’Alamiyyah.. 2006. Lat}a>if al-Mina>n. Edited by Abd Halim Da>r al-Ma’a>rif, Cet. 3.. 2007. Al-Tanwi>r fi> Isqa>t} al-Tadbi>r. Kairo Da>r al-Sala>m al-H{adi>tsah.. Mifta>h} al-Fala>h} wa Mis}ba>h} al-Arwa>h} fi> Dzikrilla>h al-Kari>m al-Fatta>h. Beirut Da>r al-Kutub al-Aj al-Aru>s al-H}a>wi> li Tahdzi>b al-Nufu>s. Kairo Jawa>mi’ Syarh} al-H}ikam bi Ha>misy Syarh} al-H{ikam IbnIba>d, Jil. 2. Indonesia Da>r Ih}ya> al-Kutub al- Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1957. Dira>sa>t fi>al-Falsafahal-Isla>miyyah. Kairo Maktabah al-Qa>hirah al-H{adi>tsiyyah.. 1969. Ibn At}a>illah wa Tas}awwufuh. Kairo Maktabah al-Mis}riyyah, Cet. Abu Nashr Siraj. 1960. Al-Luma fi> al-Tas}awwuf, Editedby Abd Halim Mahmud and Abd al-Baqi al-Surur. Kairo Da>ral-Kutub al-H{adi>tsiyyah.} Achmad FauziAndewi SuhartiniNurwadjah AhmadPendidikan merupakan tahap penting dalam menumbuhkan, mengembangkan, dan memperkuat kesadaran diri manusia ma’rifatun nafs. Pendidikan dalam tujuannya harus mampu menjadi jalan manusia untuk mengenali dirinya ma’rifatun nafs sehingga mampu meeraih tujuan yang utama yang mengenali Tuhannya ma’rifatullah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan makna pendidikan sebagai upaya pengembangan kesadaran manusia ma’rifatun nafs. Penelitian ini menggunakan jenis studi kepustakaan library research, metode deskriptif dan pendekatan kualtitatif. Pendekatan ini digunakan karena data-data atau bahan-bahan yang diperlukan dalam menyelesaikan penelitian tersebut berasal dari perpustakaan baik berupa buku, ensklopedi, kamus, jurnal, dokumen, majalah dan lain sebagainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting dalam upaya kesadaran diri ma’rifatun nafs manusia sebagai jalan menuju tujuan pendidikan yang utama yaitu ma’rifatullah. Namun, ada beberapa masalah yang dihadapi Terkadang, ada di antara manusia ingin menggapai ma'rufatullah tanpa memulai pemahaman lebih mendalam siapa dirinya sesungguhnya ma'rifatun nafs. Akhirnya, manusia tersebut tidak akan menemukan apa-apa kecuali keputusasaan atau kerancuan dalam pemikiran. Selama seseorang ada rasa “keakuannya” maka hal tersebut belum dapat disebut ma'rifatunnafs. Dengan demikian, ma'rifatunnafs sesungguhnya tidak lain adalah ma' NasihinThis study is aimed at describing the philosophical meaning of advice of Sasak parents from the perspective of Sufism. The advice reads mbe mbe laine lampaq dendeq lupaq jauq gaman mane manen besi polka”. This study is a literature study attempting to investigate the concept of Sasak Makrifat theoretically and philosophically. The researcher believes that the advice besides having an outward meaning also holds a very depth spiritual meaning in which gaman is not only a weapon as is generally, but also, gaman is another term for religion. After describing the meaning behind the term of the gaman, it can be concluded that the meaning of the advice is "wherever you go, do not forget your religious teachings. Please continue to repent so that the door of the search will open that will bring you to the climax point to meet the Lord. Then, you express your thanks. If you are not able to walk through these stages, it is enough to understand the meaning of His name from the initial letter of ba ' from the piece of bismillah word which means the beginning of everything ". William L. DamGIS A Short Introduction. N. Schuurman. 2004. Blackwell Publishing, Williston, VT. 169 pp. $ paperback. The technological revolution has changed our world, and the evolution of computer technology continues to redefine the landscape. In terms of computerized mapping of multidisciplinary fields of study, Professor Nadine Schuurman presents overwhelming scientific evidence of the indispensability of geographic information systems GIS.Ibnu 'Arabi, Fus} u> s al-H{ ikam Fus} u> s..., 90. 36 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ ikam al-'At} a> iyyah Da> r al-Sala> tsahIbnu MandzurIbnu Mandzur, Lisa> n al-'Arab, Kairo Da> r alMàa> rif, 35. Ibnu 'Arabi, Fus} u> s al-H{ ikam, Edited by Abu al-Ala al-Fifi, Beirut Da> r al-Kita> b al-'Arabiyyah, 90. 35 Ibnu Araby, Fus} u> s..., 90. 36 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ ikam al-'At} a> iyyah..., 11, 38. 37 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Qas} d al-Mujarrad..., 60. 38 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Tanwi> r fi> Isqa> t} al-Tadbi> r, Kairo Da> r al-Sala> tsah, 2007, 246. 39 Ibnu Athaillah, Al-Qas} d al-Mujarrad fi>..., 59-60. 40 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat} a> if..., 160-161. 41 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ ikam al-'At} a> iyyah..., 15, 33, 97, Yazi> d al-Bust} a> miy alMajmu> 'ah al-S{ u> fiyyah al-Ka> milahDaftar Pustaka 'abbasQasim MuhammadDaftar Pustaka 'Abbas, Qasim Muhammad. 2004. Abu> Yazi> d al-Bust} a> miy alMajmu> 'ah al-S{ u> fiyyah al-Ka> milah. Damaskus al-Mada>.Al-Mausu> 'ah al-S{ u> fiyyah A'la> m al-Tas} awwuf wa al-Munkiri> n 'alaih wa al-T{ uruq al-S{ u> fiyyahAbd Al-Mun 'imAbd al-Mun'im, 1992. Al-Mausu> 'ah al-S{ u> fiyyah A'la> m al-Tas} awwuf wa al-Munkiri> n 'alaih wa al-T{ uruq al-S{ u> fiyyah. Kairo Dar> alIrsya> ikam al-'At} a> iyyah. Kairo Da> r al-Syu'aibZaruq Al-AfasiAl-Afasi, Zaruq. 1985. H{ ikam al-'At} a> iyyah. Kairo Da> r al-Syu' Mawa> hib al-'A Syarh} al-H{ ikam al-'At} a> iyyah, Jil. 2. Indonesia Da> r Ih} ya> al-Kutub alIbnu Al-ArundiT IbadThAl-Arundi, Ibnu Ibad. Ghaits Mawa> hib al-'A Syarh} al-H{ ikam al-'At} a> iyyah, Jil. 2. Indonesia Da> r Ih} ya> al-Kutub al-' al-Ka> minah fi> A'ya> n Miah al-Tsa> minahIbnu Al-'asqalaniHajarAl-'Asqalani, Ibnu Hajar. 1993. Al-Durar al-Ka> minah fi> A'ya> n Miah al-Tsa> minah, Vol. 1. Beirut Da> r al-Ji> to the Metaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of IslamAl-AttasMuhammad SyedNaquibAl-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. Prolegomena to the Metaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur Al-GhazaliHamidAl-Ghazali, Abu Hamid. 1986. Misyka> t al-Anwa> r, Edited by Abd al-Aziz Izzu al-Din al-Siruwan. Beirut 'A ikmah fi> Makhlu> qa> t Alla> h 'Azza wa Jalla. Kediri Muhammad UtsmanT Al-H{ ikmah fi> Makhlu> qa> t Alla> h 'Azza wa Jalla. Kediri Muhammad Utsman.
ArticlePDF Available AbstractThis study is the branch of the big topic concerning Islamic counseling that is exclusively studied through Sufism approach. The Sufism concept of Ibn Athaillah in Kitab Al-Hikam is described in order to be an approach of Islamic counseling as the result of the harmonious combination between psychology and Sufism to actualize human mental health. The scope of this study is focused on the main problem namely how Sufism concept of Ibn Athaillah can be used as counseling approach. The method used in this study is literature review type qualitative approach. The primary data are collected from Kitab Al-Hikam by Ibn Athaillah As-Sakandari. The secondary data are collected from various supporting literatures concerning Sufistic counseling. Data are collected using documentation method. Then, the data are reduced and analyzed. The result of this study indicates that Sufism concept is always focused on heart and soul management in order to draw closer to Allah. This can be made to be one of approaches in Islamic counseling. Sufism concept of Ibn Athaillah stresses more on riyadhah al-qulub namely emphasis in the aspect of heart condition in guiding someone that wants to go to the path of goodness. The conclusion is that in conducting spiritual counseling, Sufism approach is relevant to be the basis and spiritual counseling method. Riyadhah al-qulub or emphasis on heart aspect is psychosufistic counseling based on Sufism concept of Ibn Athaillah As-Sakandari. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam Vol. 5, No. 1, Mei 2021 hal 43-62 p ISSN 2580-3638; e ISSN 2580-3646 DOI Konsep Tasawuf Ibnu Atha’illah al-Sakandari dan Relevansinya dengan Konseling Psikosufistik Muhammad Taufiq Firdaus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta taufiqfirdaus27 Abstract This study is the branch of the big topic concerning Islamic counseling that is exclusively studied through Sufism approach. The Sufism concept of Ibn Athaillah in Kitab Al-Hikam is described in order to be an approach of Islamic counseling as the result of the harmonious combination between psychology and Sufism to actualize human mental health. The scope of this study is focused on the main problem namely how Sufism concept of Ibn Athaillah can be used as counseling approach. The method used in this study is literature review type qualitative approach. The primary data are collected from Kitab Al-Hikam by Ibn Athaillah As-Sakandari. The secondary data are collected from various supporting literatures concerning Sufistic counseling. Data are collected using documentation method. Then, the data are reduced and analyzed. The result of this study indicates that Sufism concept is always focused on heart and soul management in order to draw closer to Allah. This can be made to be one of approaches in Islamic counseling. Sufism concept of Ibn Athaillah stresses more on riyadhah al-qulub namely emphasis in the aspect of heart condition in guiding someone that wants to go to the path of goodness. The conclusion is that in conducting spiritual counseling, Sufism approach is relevant to be the basis and spiritual counseling method. Riyadhah al-qulub or emphasis on heart aspect is psychosufistic counseling based on Sufism concept of Ibn Athaillah As-Sakandari. Keywords Ibnu Athaillah; Psychosufistic; Counseling Abstrak Penelitian ini sebagai turunan dari topik besar konseling islam yang secara khusus dikaji melalui pendekatan ilmu tasawuf. 44 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 Mendeskripsikan Konsep tasawuf Ibn Athaillah dalam kitab al-hikam untuk dijadikan suatu pendekatan konseling islami sebagai hasil dari perpaduan yang harmoni antara psikologi dan tasawuf untuk mewujudkan kesehatan mental manusia. Lingkup penelitian ini difokuskan pada permasalahan utama yakni bagaimana konsep tasawuf Ibn Athaillah dapat digunakan sebagai pendekatan konseling. Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis kajian pustaka, sumber data primer diperoleh dari Kitab Al-Hikam karya Ibn Athaillah As-Sakandari, data sekunder diperoleh dari berbagai literatur penunjang yang berkaitan dengan konseling sufistik. Pengumpulan data dengan metode dokumentasi, kemudian data tersebut di reduksi data dan analisi isi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsep tasawuf Ibn Athaillah As-Sakanadari selalu terkonsentrasi pada pengelolaan hati dan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam konseling islami. Konsep tasawuf Ibn Athaillah lebih menekankan riyadah al-qulub yakni penekanan dalam aspek kondisi hati seperti ikhlas, ridha, sabar, tawadhu, tawakal, raja, khauf dan bersyukur untuk membimbing seseorang yang hendak menuju ke jalan kebaikan. Riyadah al-qulub merupakan metode konseling psikosufistik menurut konsep ilmu tasawuf Ibn Athaillah as-Sakandari. Maka dalam melakukan konseling islami, pendekatan ilmu tasawuf Ibn Athaillah dapat dijadikan sebagai basis dan metode konseling spiritual. Kata Kunci Ibnu Athaillah; psikosufistik; konseling Pendahuluan Konseling psikosufistik merupakan konseling yang hadir sebagai bentuk harmonisasi dari ilmu psikologi dan ilmu tasawuf dengan konsep yang menghasilkan konsep metode dan teknik konseling yang khas pula dalam pelaksanaannya dengan tujuan yang lebih spesifik, yakni dengan berdasarkan nilai-nilai tasawuf psikosufistik berbeda dan juga lebih khusus dari pada konseling pada umumnya, karena konseling psikosufistik khusus pada konseling yang islami berlandaskan tasawuf. Konseling psikosufistik dalam melakukan proses konseling menggunakan pendekatan berdasarkan pada pendekatan psikologi dan pendekatan tasawuf. Zamzami Sabiq, ―Konseling Sufistik Harmonisasi Psikologi Dan Tasawuf Dalam Mewujudkan Kesehatan Mental,‖ ’Anil Islam Jurnal Kebudayaan dan Ilmu Keislaman 9, no. 2 December 31, 2016 328–352. Ahmad Fauzi, ―Psikosufistik Pendidikan Islam Dalam Perspektif Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah,‖ Jurnal Intelektual Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman 8, no. 2 August 1, 2018 229–240. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 45 Psikosufistik di artikan atau didefinisikan sebagai sebuah kajian tentang tingkah laku ataupun perbuatan manusia dengan konsep yang dibangun diatas ilmu tasawuf yang berlandaskan al-Quran dan psikosufistik lebih fokus mengembangkan potensi batin manusia ke arah kesadaran psikologis untuk senantiasa dekat dengan yang dikedepankan ialah citra dzawqiyah rasa serta penyucian diri tazkiyah al-nafs. Meskipun dalam hal ini masih banyak perdebatan dari pihak-pihak yang pro dan kontra. Pihak yang menolak dengan pengembangan konseling islami ialah mereka yang tidak sependapat dan tidak mengakui adanya ruang atau dimensi spiritualitas yang menjadi objek kajian utama dalam konsep bimbingan konseling islami. Adapun mereka yang pro dan selalu memerjuangkan konseling islami ialah para cendikiawan dan peneliti muslim, dari pengembangan konsep tersebut mereka memang benar menemukan hasil yang berbeda. Hal ini akan memperkuat pengembangan konsep konseling islami dalam dunia psikosufistik terhadap gangguan kesehatan mental yang di alami manusia modern adalah karena kekosongan spiritual. manusia modern menjalani kehidupan dengan pola hidup konsumtivisme. dan individualisme yang semakin menjadi-jadi di banyak dunia spritual yang di alami manusia modern mengakibatkan munculnya gangguan kejiwaan, seperti stres dan galau. Pada umumnya penyakit ini sulit disembuhkan melalui medis, maka tentunya penyakit batin hanya bisa disembuhkan melalui psikologisnya dengan metode rohaniah ataupun dengan pendekatan dan pengobatan Syukur menjelaskan bahwa ilmu tasawuf dapat digunakan sebagai pendekatan dan terapi untuk kesehatan mental yakni 1 secara psikologis kajian tasawuf yakni hasil dari suatu pengalaman spiritual maupun bentuk pengetahuan Ubaidillah Achmad, ―Teori Kehendak Manusia Perspektif Psiosufistik Al-Gazali,‖ Konseling Religi 6, no. 2 2015. Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi psikologi sufistik dan humanistik Rasail, 2005. Abdul Mujib, ―Model Kepribadian Islammelalui Pendekatan Psikosufistik,‖ Nuansa 8, no. 1 2015. Muhamad Rifai Subhi, ―Development of Islamic Counseling Concept spiritual Issues in Counseling,‖ Hisbah Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam 13, no. 1 June 1, 2016 121–134. Ahmad Nurcholis, ―Peran Tasawuf Dalam Merekonstruksi Krisis Spiritualitas Manusia Modern,‖ Sosio Religi 2012. Heldi Heldi, ―Pola Konsumsi Masyarakat Post-Modern Suatu Telaah Perilaku Konsumtif Dalam Masyarakat Post-Modern,‖ Al-Iqtishad Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah 1, no. 1 7 Januari 2009, aiq. Alia Azmi, ―Individualisme Dan Liberalisme Dalam Sekularisme Media Amerika,‖ Humanus 12, no. 1 June 28, 2013 33–42. Muhammad Amin Syukur, ―Sufi Healing Terapi Dalam Literatur Tasawuf,‖ Walisongo Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20, no. 2 December 15, 2012 391–412. 46 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 mengenai keberadaan atau realitas ketuhanan yang cendrung menjadi indikator dalam agama. 2 merasakan kehadiran atau keberadaan Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis kemudian menimbulkan dan menjadikan keyakinan yang sangat kuat. Perasaan dan pengalaman mistis tersebut seperti ma’rifat, ittihad, hulul, mahabbah, uns, hal-hal tersebut dapat menjadikan moral force bagi amal-amal saleh. 3 seseorang dalam menjalani hubungan dengan Allah dijalani atas rasa kecintaan, para pengamal sufistik Allah bukanlah suatu Dzat yang menakutkan, tetapi Allah adalah Dzat yang penyayang, pengasih, pemurah, sempurna, kekal, indah dan selalu hadir dimanpun dan kapanpun. Hasil dari hubungan hamba dengan Allah sebagai moral kontrol akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik, kemudian menghindari dari penyipangan perbuatang yang tentang pemikiran tasawuf Ibn Attaillah Asakandari telah banyak dibahas dengan berbagai topik dan tema, pembahasan tersebut seputar konsep tasawuf Ibn Athaillah dan relevansi, kontribusinya dengan disiplin ilmu lainya seperti ilmu pendidikan dan ilmu psikologi. ada yang mencoba melihat pemikiran Ibn Athaillah di dalam kitab al Hikam suatu kajian tentang kontribusi nilai dan konsep tasawuf dalam pendidikan islam. Kemudian studi yang menggali corak tasawuf dalam al-Hikam Ibn Athaillah penerapan dan implikasinya terhadap pembentukan akhlak di pondok pesantren. Kemudian ada yang mengkaji dan membahas mengenai nilai pendidikan karakter dalam pemikiran Ibn Athaillah As-Sakandari. Selanjutnya pembahasan yang bertujuan menganalisa dan mendiskripsikan pemekiran pendidikan sufistik Ibn Athaillah dan relevansi dengan pendidikan karakter di Muhammad Nurdin, Muhammad Harir Muzakki, and Sutoyo Sutoyo, ―Relasi Guru Dan Murid Pemikiran Ibnu ‗Athaillah Dalam Tinjauan Kapitalisme Pendidikan,‖ Kodifikasia 9, no. 1 2015 121–146; Hanifah Fauziyyah, ―Konseling Sufistik Dalam Pembinaan Akhlak Siswa Studi Kasus Di Pondok Pesantren Al-Falah 2 Nagreg‖ 2019; Mucharor Mucharor, ―Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-Syukandari‖ 2015. Azizah Aryati, ―Pemikiran Tasawuf Syeikh Ibn ‗Atoillah as-Sakandari Dalam Kitab Al Hikam Kajian Tentang Rekonstruksi Dan Kontribusi Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Pendidikan Islam,‖ Manhaj Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 6, no. 1 2017, accessed April 24, 2020, Muhammad Arifudin, ―Corak Tasawuf Kitab Hikam Karya Ibn ‗Athaillah As-Sakandari Dan Implikasinya Dalam Pembentukan Akhlak Di Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik‖ masters, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018, accessed November 12, 2020, Azizah Aryati and Ismail Ismail, ―Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Pemikiran Tasawwuf Ibnu Athoillah as-Sakandari‖ Presented at the International Seminar on Islamic Studies, IAIN Bengkulu, 2019, 76–83, accessed November 12, 2020, Achmad Beadie Busyroel Basyar, ―Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari tentang pendidikan sufistik dan relevansinya dengan pendidikan karakter di Indonesia Telaah Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 47 Ahmad Fauzi mengatakan dalam penelitiannya yang berjudul Psikosufistik pendidikan Islam dalam perspektif pemikiran syekh Ibn relevansi antara pendidikan karakter dengan ajaran tasawuf Ibn Attaillah ialah dalam hal penanaman nilai. Di dalam pendidikan karakter di indonesia penanamana nilai-nilai yang ditekankan adalah nilai agama, kebangsaan dan sosial masyarakat. Dalam sufistik Ibn Attaillah yang ditanamkan adalah nilai-nilai sufistik yang berorentasi kepada pribadi yang dekat dengan Allah swt. Pendidikan karakter tidak terlepas dari kajian psikologi dan mental seseorang. Keadaan psikologis yang baik dan mental yang baik akan melahirkan sebuah karakter yang baik. Kajian psikologis sangat erat kaitannya dengan kegiatan konseling. Akan tetapi Pembahasan mengenai konsep tasawuf Ibn Athaillah As-sakandari untuk dijadikan suatu konsep psikosufistik dalam konseling Islam belum banyak dikaji. Maka penelitian ini akan mengkaji konsep tasawuf Ibnu Athaillah dan relevansinya dengan konseling psikosufistik. sebuah proses bantuan terhadap seseorang yang mengalami kesulitan maupun mempunyai problem lahiriah maupun batiniah yang bertujuan untuk menyadarkan kembali eksistensinya sebagai hamba maupun makhluk Allah swt, yang seharusnya hidup sesuai dengan petunjuk dan ketentuan Allah hidup sesuai petunjuk dan ketentuan Allah swt, maka akan sangat mudah dalam mengatasi berbagai problem yang dihadapi dengan sikap dan mental yang kuat sesuai ajaran ini memfokuskan dua aspek; yaitu bagaimana konsep tasawuf Ibnu Athaillah dan bagaimana konsep tasawuf Ibnu Athaillah tersebut dapat menjadi basis konseling psikosufistik. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan library research yang membahas tentang konseling psikosufistik Ibn Athaillah As-Sakandari. Dengan tujuan untuk menggali lebih dalam pemikiran dan konsep tasawuf Ibn Athaillah As-Sakandari untuk diterapkan dalam konseling sufistik. Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan juga data sekunder. Sumber data primer yakni kitab Al-Hikam karya syekh Ibn Athaillah As-Sakanadari. Buku yang dimakud ialah Kitab Al-Hikam Petuah-petuah Agung Sang Guru buku terjemahan dari Al-Hikam diterjemah oleh Ismail Badillah. Sumber data sekunder diperoleh dari berbagai artikel jurnal maupun literatur penunjang lainya yang mengkaji Kitab al-Hikam al-Aṭāiyah‖ undergraduate, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2016, accessed November 13, 2020, Fauzi, ―Psikosufistik Pendidikan Islam Dalam Perspektif Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah.‖ Fahrul Hidayat, Arisatul Maulana, and Doni Darmawan, ―Komunikasi Terapeutik Dalam Bimbingan Dan Konseling Islam,‖ Hisbah Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam 16, no. 2 2019 139–151. Asriyanti Rosmalina, ―Pendekatan Bimbingan Konseling Islam Dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Remaja,‖ Holistik 1, no. 1 2016. 48 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 dalam ruang lingkup konseling. Pengumpulan data dengan metode dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan mereduksi data dan analisi isi. Hasil dan Pembahasan Biografi Ibn Attaillah al-Sakandari Syekh Ahmad ibn Muhammad ibn Athaillah as-Sakandari seorang ulama besar yang Lahir di Iskandariyah Mesir tahun 648 H/1250 M, meninggal di kairo pada tahun 1309. Mulai dari kecil Ibn Athaillah dikenal haus dengan ilmu pengetahuan terutama ilmu agama, sehingga sangat gemar dalam menuntut ilmu agama. ia mempelajari dan mendalami ilmu dari beberapa syekh, gurunya yang paling dekat beliua adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali al-Anshari al-Mursi, murid dari Abu al-Hasan al-Syadzili, yang merupakan pendiri tarekat al-Syadzili. Ibn Athaillah adalah seorang ulama yang produktif, total ada dua puluh karya yang dihasilkannya, meliputi bidang tasawuf, akidah, ushul fiqih, nahwu, hadits, dan tafsir. Dari hasil karnya tersebut yang paling terkenal ialah kitab al-Hikam, karya kitab ini telah banyak di syarah oleh ulama-ulama berikutnya, antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim Ibnu Ibad ar-Rundi, dan Ahmad ibn Ajiba, syeikh Ahmad Athaillah merupkan seorang ulama yang dikenal karena kepribadiannya yang bersih, seorang tokoh yang di jadikan panutan dalam meniti jalan menuju Tuhan yaitu Allah swt. ulama yang mengajarkan keikhlasan, dan memberikan nasihat-nasehat agama yang begitu dalam. Ibn Athaillah dikenal sebagai guru ketiga dalam tarekat syadzili setelah pendiri-pendiri tarekat tersebut yakni Abu al-hasan asy-syadzili dan Abu al-Abbas al-Mursi. Meski dia dikenal sebagai syekh di sebuah tarekat, tetapi pengaruh intelektualnya tidak terbatas di terekatnya saja, tetapi karya-karya Ibn Athaillah di baca luas oleh kaum muslimin, bersifat lintas tarekat maupun mazhab terutama kitan al-Hikam ini karyanya yang cukup fenomenal. Pemikiran Ibn Athaillah As-Sakandari Pemikiran Ibn Athaillah mengenai timbulnya berbagai masalah dan problem kehidupan yang dialami oleh seorang individu sesuai dengan konsep tasawuf Ibn Attaillah yakni dikarenakan oleh penykit hati penyakit hati ini akan menimbulkan beberapa perkara buruk dan akhlak tercela yang mengakibatkan jauh dari Allah swt. Beberapa perkara buruk menurut Ibn Attaillah yang harus dijauhi ialah Pertama, Menunda amal ibadah. Ibadah yang bersifat wajib harus dilakukan oleh setiap muslim, tidak ada alasan bagi seseorang muslim untuk Syaikh Ibn Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru, trans. Ismail Baadillah Jakarta Khatulistiwa Press, 2017. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 49 meninggalkan kewajiban beribadah tersebut selama ia tidak memiliki udzur yang dibenarkan oleh syari sehingga diperbolehkan dia untuk tidak melaksanakan kewajiban tersebut. konsekuensi jika meninggalkan ibadah tersebut akan mendapat murka Allah swt. Sesorang tidak meningalkan amal ibadah tetapi menunda-nundanya merupakan tanda tidak bersyukurnya seorang muslim kepada Allah swt dan termasuk kebodohan hati sebagaimana ucapan Ibn Ataillah. Menunda pelaksanaan ibadah untuk mencari waktu senggang adalah timbul dari kebodohan hati. Sifat menunda tersebut jika disebabkan oleh urusan dunia maka akan menimbulkan lupa akan kematian yang bisa menghampiri setiap saat, dan jika senang menunda amal ibadah akan menimbulkan lemahnya niat dan tujuan yang ingin di capai dari amal tersebut. hal tersebut akan berubahnya niat dan tujuan amal Suudzan kepada Allah swt. Berburuk sangka kepada Allah merupakan tanda tipisnya iman seseorang dan mengakibatkan dosa besar jika berburuk sangka terhadap Allah swt. Pada dasarnya seorang hamba harus menganggap semua pemberian Allah itu merupakan anugrah baik sesuatu tersebut baik maupun buruk, karena di balik kesusahan yang menimpa seorang hamba pasti tersimpan kebahagiaan seperti ucapan Ibn Ataillah. Barangsiapa yang mengira lenyapnya kasih sayang Allah dari ketetapan Allah, maka yang seperti ini adalah karena dangkalnya pandangan keimanan. Seorang hamba hseharusnya melihat pemberian Allah swt menggunakan pandangan rohaniyah, dengan itu dia dapt merasakan hakikat dari pemberian Allah swt dan memunculkan sifat khusnudhan pada Allah swt. Akibat dari dangkalnya pandangan adalah, ia tidak mampu untuk menyaksikan adanya karunia Allah dalam setiap musibah yang ditakdirkan oleh-Nya. Dan semua ini bermuara pada lemahnya keimanan meremehkan amal. Perbuatan yang sepele terkadang malah mendatangkan pahala, keuntungan dan keutamaan yang besar jika di niatkan tulus karena Allah. Amal perbuatan yang berat dan memerlukan daya, upaya bahkan memerlukan biaya besar tidak menjamin kualitas amal mendapat pahala besar dan keuntungan jika niat dalam mengerjaknnya tidak tulus karena Allah Muhammad Luthfi Ghozali, Percikan Samudra Hikmah Syarah Hikam Ibnu Atho’illah As-Sakandari Kencana, 2011. Ibn Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru. Ibid. 50 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 swt. Amalan yang diterima oleh Allah adalah, segala apa yang dilakukan hamba dengan didasarkan pada keyakinan bahwa amal itu terjadi karena taufiq dan hidayah dari Allah semata, kemudian dilaksanakan secara istiqomah. Ungkapan Ibn Ataillah tentang hal ini sebagai berikut. Tidak ada amal yang lebih diharapkan memperoleh pahala, dari pada amal yang kamu lihat enteng, dan engkau anggap remeh keberadaaanya. Amalan yang diterima oleh Allah adalah, segala sesuatu yang dilakukan seorang hamba dengan didasarkan pada keyakinan bahwa amal itu dapat dikerjakan karena taufiq dan hidayah dari Allah semata. kemudian diikuti dengan sikap istiqomah dan tidak berbangga diri atasnya. Sebab, jika seseorang hamba merasa bangga dengan amalnya tersebut, maka amalan itu menjadi tidak bernilai dalam pandangan Allah sedih dan malas beribadah. Seseorang menyesal jika ketinggalan atau tidak sempat mengerjakan aktifitas ibadah merupakan sifat yang baik, namun rasa menyesal ini dibarengi dengan malas untuk melaksanakan ibadah tersebut hal ini merupakan kemunafikan sebagaimana yang diungkapkan Ibn Ataillah Sangat sedih karena tidak bisa menjalankan ketaatan kepada Allah, akan tetapi merasa malas untuk melakukannya adalah tandanya ia terperdaya oleh setan. Apabila seseorang sedih karena tertinggal melakukan suatu amal kebaikan, namun ketika mendapat kesempatan tidak segera menunaikannya menundanya, maka itu pertanda seseorang telah dipermainkan oleh tipu daya hamba Dalam menjalankan ibadah pasti mengalami banyak kendala yang selalu menghalangi dia untuk beribadah, halangan tersebut salah satunya disebabkan karena bisikan setan, godaan iblis dan hawa nafsu. Seorang hamba yang memiliki iman yang lemah menjadi sangat mudah di hinggapi rasa malas dalam melaksanakan ibadah. Tetapi seorang hamba tidak dibenarkan untuk berputus asa atas rahmat Allah dengan terus bermujahadah. ketakwaan dapat ditingkatkan karena kualitas ketakwan seseorang bersifat dinamis hal ini akan tergantung dengan sebesar apa usaha yang dilakukannya. Dari penyakit hati yang dipaparkan tersebut akan melahirkan berbagai problem kehidupan dengan berbagai masalah yang dihadapi oleh seseorang, hal ini tentu dilihat dari perspektif sepritualitas khusunya dalam kajian ilmu tasawuf. Semua problem yang dialami dan kesulitan yang menimpa seseorang bersumber dari hati yang Ibid. Ibid. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 51 sakit. Maka untuk mencegah dan mencari solusi dari problem yang dihadapi hendaknya seseorang menjaga hati supaya sehat sehingga hati tidak sakit yang bisa menimbulkan problem-problem kehidupan yang sangat parah. Konsep Tasawuf Ibnu Athailah Asakandari Sebagai Basis Konseling Psikosufistik Menurut para ahli bimbingan di tanah air munculnya konseling psikosufistik di latar belakangi oleh adanya kelemahan-kelemahan pendekatan konseling yang selama ini diterapkan. Model konseling telah banyak dikembangkan dalam upaya memberikan solusi dari berbagai masalah yang dihadapi manusia, tetapi menurut pandangan MD. Dahlan bahwa pijakan dalam mengembangankan model tersebut lebih menekankan pada bidang filsafat dan sains yang memiliki karakter spekulatif dan tentative kebenaran yang belum pasti dan untuk sementara waktu. oleh karena itu maka hasil dari bimbingan tidak tuntas dan hanya menyentuh kulit luarnya saja. Saran dari para ahli bimbingan seperti Rohman Natawijaya, MD Dahlan, munandir, Djamaludin Ancok, dan Dadang Hawari, bahwa nilai-nilai agama agar dijadikan landasan dalam mengembangkan model konseling di hal ini ilmu tasawuf dijadikan sebagai basis dalam pengembangan model konseling dipandang tepat, karena ajaran tasawuf dibangun berdasarkan al-Quran dan al-Hadits. Ajaran tasawuf fokus pada memusatkan diri atau muhasabah dan pembersihan jiwa untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Ilmu tasawuf dipandang memiliki banyak kesesuaian dengan ilmu psikologi yang selama ini menjadi bagian dalam pendekatan konseling. Alasan ini juga diperkuat karena mayoritas masyarakat indonesia menganut ajaran Islam, maka pendekatan konseling sufistik yang berlandaskan ajaran Islam diharapkan lebih efektif. Beberapa nilai dari ajaran ilmu tasawuf relevan untuk dijadikan pijakan dalam pendekatan psikosufistik. Dari bebrapa nilai ilmu tasawuf ini dapat dijadikan suatu kerangka pemikiran dalam membangun suatu pendekatan konseling Anwar, ―Model Bimbingan Dan Konseling Sufistik Untuk Mengembangkan Pribadi Yang ‗Alim Dan Saleh,‖ Universitas Negeri Semarang 8 2017 4–10. Anwar Sutoyo, ―Bimbingan Dan Konseling Islami Teori Dan Praktik,‖ Yogyakarta Pustaka Pelajar 2013. Muhamad Rifai Subhi et al., ―Pendekatan Sufistik Dalam Bimbingan Dan Konseling,‖ Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling XXI 2019 150–156. Nendri Novita, Efektifitas Pendekatan Sufistik Melalui Layanan Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Kesadaran Sholat Lima Waktu Bagi Mahasiswa Iain Batusangkar IAIN Batusangkar, 2019, accessed November 13, 2020, Yuliyatun Tajuddin, ―Komunikasi Dakwah Walisongo Perspektif Psikosufistik‖ 2014. 52 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 Pertama, nila-nilai ketauhidan. Suatu nilai ketauhidan atau kepercayaan kepada tuhan menjadi pondasi dasar dalam pembentukan kesadaran ilahiyah manusia. Seorang manusia boleh menyibukan diri dalam mengejar karir dalam kehidupannya, terus belajar, juga aktif di berbagai kegiatan, namun harus ingat dibalik kesuksesan dalam meraih itu semua ada kehendak dan ketetapan Allah swt dalam mencapai hasil akhirnya. Kautsar noer menjelaskan bahwa hakikat tasawuf ialah sebuah jalan spritual yang bersumberkan dari al Quran dan al Hadits dalam rangka menuju Allah swt, dengan tetap menjalankan syariat, membentuk akhlak mulia, antara kehidupan duniawi dan ukhrawi harus seimbang. Fungsi nilai ketauhidan inilah yang menjadi penyeimbang dalam kepribadian seseorang. Kedua, nilai kemanusiaan. Penanaman nilai kemanusian ini bertujuan agar terbangun rasa kesaadaran untuk berbuat baik, saling membantu, menghormati, menghargai, mementingkan kepentingan bersama dan bertanggung jawab. Hal ini diterapkan dalam ajaran tasawuf karena agama islam tidak hanya sibuk ibadah ke pada Allah saja yang mengeyampingkan sisi kemanusiaan. Dalam ajaran islam hubungan dengan manusia juga sangat di anjurkan dan harus di bangun sengan seimbang untuk menjaga relasi sosial, kehidupan bermasyarakat dan lain sebagainya. Ketiga, kerendahan hati. Dalam ajaran tasawuf sifat rendah hati merupakan sifat yang menjadi fokus dan sangat dianjurkan. Sifat rendah hati ini akan mendidik seseorang untuk menyadari posisi dan keberadaan diri dihadapan Allah swt yang maha berkuasa, maha agung dan maha berkehendak, dengan ini seseorang akan sadar dan memahami bahwa dirinya dan orang lain adalah sama dihadapan Allah swt. Apapun jabatan dan pangkat yang dimiliki secara kemanusian adalah sama. Rasa kesadaran yang dimiliki tersebut akan menumbuhkan jiwa yang lemah lembut, yang akan menimbulkan sikap bermasyarakat dengan baik dan memliki rasa simpati dan empati dalam pegaulan sosialnya. Keempat, kearifan lokal local wisdom. Meraih kebijaksanaan yang berbasis pada kekuatan spiritual adalah puncak capaian hati seorang sufi. Karakter ini yang menjadikan seorang sufi dapat menjalani kehidupan berdampingan dengan berbagai komunitas masyarakat yang berbeda-beda. Kelima, perubahan diri. Tujuan akhir seorang yang beriman kepada Allah swt yakni dekat dengan Allah swt. Konsep tasawuf Ibn Athaillah yang dapat dijadikan sebagai pendekatan konseling sufistik, yaitu konsep tasawuf Ibn Ataillah yang ada di dalam kitab al-Hikam. Konsep tasawuf dalam al-Hikam sebagai konseling psikosufistik dan pendekatan yang berdasarkan sepritualitas bagi seseorang yang ingin mencari jalan keluar dari problem yang sedang dihadapi. Dalam Pendekatan psikosufistik nilai-nilai yang akan ditanamkan adalah nilai sufistik yang berorentasi pada upaya Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 53 menjadi pribadi yang dekat pada Allah swt. Pendekatan sufistik Ibn Ataillah lebih menitik beratkan pada konfigurasi olah hati atau Riyadah al-Qulub dan membina akhlak. Konsep riyadah al-qulub dan membina akhlak akan diuraikan sebagai berikut; Riyadah al-qulub, Ibn Ataillah mementingkan dan menekankan pada aspek hati yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. hal ini beralasan bahwa hati merupakan sasaran utama atau suatu pondasi dalam membentuk kepribadian yang baik, sehat dan berakhlakul karimah. Aspek jasmaniyah tidak terlepas dari aspek bathiniyah, apabila dari aspek bathiniyah atau hati seorang muslim telah terarah dan menuju kepada hal-hal yang positif maka dapat di pastikan bahwa aspek jasmaniyah akan mengarah pada hal-hal positif juga. Seperti ungkapan Ibn Ataillah. ―tempat terbitnya bermacam-macam nur ilahi di dalam hati manusia dan rahasia-rahasianya.‖ Kitab al-Hikam Ibn Ataillah di dalamnya mengungkapkan mengenai riyadah al-qulub dapat diaplikasikan dan diterapkan oleh setiap muslim seperti ikhlas, ridha, sabar, tawadhu, tawakal, raja, khauf dan bersyukur. Penekanan dalam aspek hati yang ditawarkan oleh Ibn Ataillah ini menjadi aspek penting dalam membangun konsep konseling psikosufistik. Penjelasan dan pendalaman riyadah al-qulub akan diuaraikan sebagai berikut. Pertama, aspek Ikhlas, definisi ikhlas secara bahasa yang berarti memurnikan dan membersihkan sesuatu dari campuran, ikhlas secara istilah ada bebarapa definisi diantaranya ikhlas adalah penyucian atau pemurnian niat dari seluruh noda dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, yang dimaksud dengan noda disini misalnya mencari perhatian manusia dan pujian mereka. Ikhlas adalah seseorang yang berniat mendekatkan diri kepada Allah swt dalam melakukan ibadahnya. Tempat sifat ikhlas di hati. Di saat hati seseorang individu menjadi baik dengan ikhlas, maka seluruh anggota badan akan ikut menjadi baik, begitupun sebaliknya. Semua perkerjaan yang dilakukan oleh seorang muslim dituntut untuk ikhlas dalam melakukannya. Ikhlas menerima dari segala cobaan dan permasalahan yang sedang dihadapi akan mendatangkan berbagai kebaikan tak terkecuali solusi dari problem yang di hadapi. Langkah awal konseling psikosufistik menempatkan ikhlas sebagai langkah pertama bagi seseorang yang hendak keluar dari problem kehidupannya. Jika ikhlas sudah dilakukan, menerima segala problem dengan penuh kesadaran dan keikhlasan maka langkah selanjutnya dalam mencari solusi akan lebih mudah dan terarah. Kedua, aspek Ridha. Menerima suatu permasalahan dengan lapang dada atau menerima tanpa merasa kecewa ataupun tertekan, ini adalah pengertian Ibid. 54 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 ridha secara bahasa. Secara istilah, seseorang menerima semua kejadian yang sedang menimpa dirinya dengan lapang dada kemudian menghadapinya dengan tabah dengan tidak merasa kesal dan tidak berputus asa. Sifat ridha dijadikan jalan konseling psikospritual dengan tujuan agar seseorang ketika mendapatkan problem dapat menerima dengan tenang dan lapang dada meskipun hal ini berat. Tetapi langkah ini harus dilalui jika ingin menempuh jalan psikospritual dalam mencari solusi problem yang sedang dihadapi. Ketiga, aspek Sabar. Secara bahasa sabar ialah menahan. Dari pengertian ini dapat diuraikan secara luas bahwa sabar dalam arti luas adalah menahan dari segala kesulitan, menahan agar tidak mudah putus asa, menahan diri agar tidak mudah berkeluh kesah, menahan dari segala kesulitan. Sabar tidak dapat diartikan lemah, dengan hanya menerima merasa menyerah terhadap keadaan dan menyerahkan dan mengembalikan permasalahan kepada Allah swt tanpa di barengi dengan ikhtiar. Sifat sabar tidak seperti demikian itu, tetapi sabar merupakan usaha tanpa mengenal lelah dan gigih yang akan menggambarkan kekuatan dalam jiwa pelakunya, sehingga dapat mengalahkan dan mengontrol hawa nafsunya. menjalani sabar tidak berarti menghilangkan seluruh keinginan sampai terlupakan hingga alam bawah sadar, yang dapat mengakibatkan timbulnya penyakit kejiwaan, tetapi orang yang menjalani sabar ialah dengan mendorong dan mengerakkan jiwa dan raga untuk menggapai cita-cita yang diinginkan. dapat disimpulkan bahwa sabar adalah suatu kemampuan, ketangguhan dan keuletan dalam mengtasi masalah secara progresif, kreatif dan terus menerus dengan sesuai petunjuk aspek Tawadhu. Tawadhu adalah nama dan istilah lain dari rendah hati, rendah hati berbeda arti dengan rendah diri. Orang yang benar-benar tawadhu adalah orang yang tawadhu dan orang tersebut merasa masih kurang banyak melakukan amal ibadah dan amal-amal positif lainnya. Para ahli psikologi mengartikan rendah diri yaitu kehilangan kepercayaan diri, seseorang yang rendah diri cendrung merendahkan dirinya di hadapan orang lain. tawadhu tidak berarti rendah diri tetapi tawadhu selalu percaya diri, optimis dan berani. Seseorang yang memiliki sifat tawadhu ia merasa seperti orang biasa akan tetapi ia memiliki banyak kelebihan. Tawadhu melahirkan sikap hati yang tenang, berwibawa, rendah hati, lemah lembut, tidak memiliki sikap sombong, rasa congkak dan merendahkan orang lain. Konsep tawadhu hampir sama dengan humility sebuah konsep dalam psikologi. Humility merupakan nilai kebaikan moral yang dapat dilihat dan di ukur dari mampu mengetahui keterbatasan diri, ketidak sempurnaan diri, kesalahan diri, terbuka, dan saling menghormati individu Syarbini and Jumari Haryadi, Dahsyatnya Sabar, Syukur, Ikhlas Muhammad SAW Ruang Kata, 2010. Ibn Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru. Jeffrey Charles Elliott, ―Humility Development and Analysis of a Scale‖ 2010. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 55 Kelima, aspek Tawakal. Mempunyai kepercayaan penuh dengan orang lain dalam menyerahkan dan menyelesaikan urusannya, ini lah makna tawakal secara bahasa. Pengertian tawakal kepada Allah swt yakni dalam mengurusi segala urusan hanya menggantungkan hasilnya kepada Allah swt. Tawakal harus hanya kepada Allah, tetapi pada kenyataannya banyak manusia yang meletakkan tawakal kepada selain Allah, banyak orang yang hanya mengandalkan kekuatan-kekuatan yang dimilikinya seperti ilmunya, hartanya, atau kepada manusia. Hakikat tawakal adalah menyerahkan semua urusan hanya kepada Allah setelah melakukan ikhtiar dan berusaha keras. Keenam aspek Raja’. Memiliki harapan atau optimisme ialah pengertian raja secara etimologi, secara terminologi arti raja ialah seseorang yang memiliki sikap mental yang optimis dalam mengharapkan karunia dan nikmat dari Allah swt bagi hamba-hambnya yang shaleh. Hal ini jelas harus dibarengi dengan usaha-usaha yang semakin mendekatkan dengan tujuan yang ingin bukan hanya sekedar angan-angan belaka dengan hanya mengandalkan keluasan dari rahmat Allah swt. Konsep raja dijadikan sebagai salah satu proses konseling psikosufistik karena sikap optimisme sangat diperlukan bagi seorang klien atau seseorang yang sedang berusaha bangkit kembali dari problem yang sedang dihadapi. Sikap optimis akan menumbuhkan sikap percaya diri, tidak gampang putus asa dan mudah menyerah, selalu berfikir positif dan menyikapi segala permasalahan yang dihadapi. Ketujuh aspek Khauf. Khauf merupakan rasa takut, gelisah dan khawatir yang ditimbulkan dari perasaan akan ada sesuatu yang mengancam dan menimbulkan bahaya di masa mendatang. Secara terminologi khauf ialah sikap mental yang mempunyai rasa takut kepada Allah swt karena merasa kurang dalam melaksanakan kewajiban maupun larangan yang sudah ditetapkan. Khauf atau rasa takut kepada Allah swt dapat diibaratkan sebagai cambuk yang dapat menggiring seseorang untuk lebih mendekatkan kepada-Nya, khauf inilah yang bisa mencegah seseorang dari maksiat dan menggiring kepada ketaatan kepada Allah swt. Dengan rasa khauf seseorang akan diliputi kekhusyukan dan ketengan, jauh dari kesombongan, iri dan dengki. Orang yang memiliki perasaan khauf tidak akan berpaling dari Allah swt, selalu berusaha mendekatkan diri kepada-Nya seperti bermuhasabah instropeksi, mujahadah bersungguh-sungguh dalam mengerjakan kebaikan, dan memanfaatkan dengan baik setiap hela dan tarikan nafasnya. Sikap ini akan menjadikan seseorang selalu hati-hati dalam melakukan segala hal, karena takut jika sesuatu yang dilakukan tersebut salah dihadapan Allah swt, dan akan selalu berusaha berbuat yang lebih baik lagi. Dalam mengambil keputusan akan lebih berhati-hati, dengan memikirkan dampak negatif dan positifnya yang akan diterimanya di masa Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru. Ibid. 56 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 Kedelapan aspek Syukur. Arti syukur secara bahasa ialah berterima kasih. Secara sepesifik bersyukur adalah mengungkapkan pujian kepada sang pemberi kebahagiaan yaitu kepada Allah swt. Hakikat syukur yaitu mengungkapkan dan mengucapkan rasa terima kasih secara tulus baik di hati maupun di lisan kemudian diaplikasikan ke dalam perbuatan positif seperti amal ibadah sebagai rasa terima kasih atas segala nikmat yang telah diberikan Allah swt. seorang hambda yang tidak mensyukuri nikmat dari Allah swt maka dia telah menutup jalan untuk mendapatkan nikmat, tetapi jika mensyukurinya maka berarti dia mengikat secara kuat nikmat tersebut. Ibn Athaillah menjelaskan ada tiga bagian dalam syukur; syukur lisan yakni mengucapkan rasa syukur secara lisan, syukur badan yakni menggunakan badan untuk melaksanakan beribadah dan beramal kepada Allah swt, dan syukur hati yakni mengakui dan menyakini bahwa segala nikmat yang didapat semua pemberian dari Allah konsep riyadah al-qulub, konsep tasawuf Ibn Athaillah dalam kitab al-Hikam yang dapat dijadikan sebagai pendekatan konseling psikosufistik ialah konsep dalam aspek membina akhlak. Di dalam al-Hikam Ibn Athaillah ingin membangun karakter-karakter manusia yang berakhlak karimah dan bertaqwa, secara umum Ibn Athaillah menyebutkan karakter akhlak karimah dan bertaqwa di antaranya 1. Husnudhan Selalu memiliki prasangka baik kepada Allah swt atas segala ketentuan qadla maupun qadarnya baik sesuatu yang diterimanya itu berupa kenikmatan maupun kesusahan dan musibah, kemudian berusaha keras dan berikhtia untuk menyelesaikan segala urusan dan kepentingannya. Perkataan Ibn Athaillah. ―Jika kamu tidak berprasangka baik kepada Allah melalui kebaikan sifat-sifatnya maka berbaik sangkalah melalui segala kebaikan yang telah diperbuatnya kepadamu‖. Bukankah selama ini Allah telah membiasakan kepadamu hanya dengan kebaikan dan hanya menganugrahkan dengan pemberian,‖ sifat husnudhan akan mengantarkan seorang hamba yakin dengan segala pemberian Allah terhadap dirinya adalah yang terbaik. Dan seorang hamba akan terus menggantungkan diri kepada Allah dalam menyelesaikan segala urusannya. Seorang hamba yang memiliki sifat buruk sangka terhadap Allah swt dapat merugikan dirinya sendiri Yudy Effendy, Sabar & Syukur Rahasia Meraih Hidup Supersukses QultumMedia, 2012. Ibn Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru. Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam Jalan Kalbu Para Perindu Allah SWT. Shahih, 2015. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 57 dan bahkan dapat membinasakan dirinya. Karena sesungguhnya Allah swt selalu mencurahkan karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Ibn Athaillah selalu berpesan agar senantiasa husnudzon kepada Allah swt di setiap kebahagiaan maupun cobaan yang sedang di Intropeksi Mememikirkan kembali semua perbuatan yang telah dilakukan, dari perbuatan yang telah dilakukan tersebut apakah mengandung nilai kebaikan atau keburukan, jika ternyata telah melakukan amal keburukan atau kesalahan maka yang harus dilakukan adalah berusaha melakukan pembenahan diri dengan mengantikan keburukan tersebut dengan nilai kebaikan. Perkataan Ibn Athaillah. ―Menggali dan meniliti kembali terhadap aib-aib yang tersembunyi yang ada dalam dirimu adalah lebih baik daripada penelitianmu terhadap hal-hal yang gaib yang dirimu tertutup darinya.‖ Manusia pada hakikatnya makhluk yang sangat lemah dan terbatas dalam menjalankan perintah dan larangan agama. tidak mempunyai kekuatan secara optimal untuk menjalankan seluruh perintah dan menjauhi segala laranganya. Oleh sebab itu Ibn Athaillah menganjurkan bahwa manusia hendaknya melakukan selalu intropeksi diri dengan mengingat kesalahan dan aib dirinya sendiri. Syekh Ibn Athaillah memberikan pesan, sepatutnya menjadilah hamba yang senantiasa dan selalu istiqomah dalam berbenah diri menuju keridhaan Allah. Dan segeralah tinggalkan sikap merasa diri telah baik dalam proses pengabdian kepada Allah Istiqomah Melaksanakan amal ibadah dengan terus menerus, menjalankan ibadah dengan istiqomah memang sangat berat. Hal ini didasari karena manusia pada hakikat yang sesugguhnya sebagai makhluk yang lemah dan tempatya kelalaian maupun kesalahan. Tetapi manusa dilarang putus asa dalam berusaha untuk istiqomah dalam kebaikan. Seseorang tidak diperkenankan putus asa karena terlanjur banyak melakukan dosa, tetapi harus tetap berusaha istiqomah dalam melaksanakan ibadah serta mengharap ampunan dan kasih sayang Allah swt. Terkait dengan hal ini Ibn Athaillah mengatakan. ―jika terlanjur berbuat dosa, janganlah menjadi penyebab engkau berputus harapan untuk istiqomah kepada tuhanmu. Mungkin hal itu akan menjadi sebab sebagai dosa terakhir yang ditakdirkan tuhan untukmu‖. Ibn Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru. Ibid. 58 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 Manakala seorang hamba melakukan perbuatan dosa, maka pada hakikatnya ia tengah menjauh dari dekapan kasih sayang Allah. Oleh karena itu, bagi para pelaku dosa, syekh Ibn Athaillah memberikan pesan, ketika menyadari telah melakukan perbuatan dosa, maka jadikan di saat itu juga berniat untuk mengakhiri kedurhakaan kepada Allah swt, dan memohon agar kesalahan tersebut menjadi kesalahan terakhir yang engkau perbuat dan jangan sekali-kali berputus asa terhadap rahmat Allah swt, karena rahmat Allah sangat luas dan meliputi segala psikosufistik Ibn Athaillah As-sakandari yang berupa riyadah al-qulub didasarkan pada kerangka berfikir Ibn athaillah As-Sakandari mengenai timbulnya problem kehidupan dikarenakan individu tersebut memiliki penyakit hati. Jika seseorang sudah mengalami penyakit hati maka akan timbul berbagai problem kehidupan yang menimpa dirinya. Ibn Athaillah As-Sakandari menjelaskan bahwa timbulnya berbagai macam penyakit hati ditinjau dari aspek spiritual diantara dikarenakan; menunda amal ibadah kepada Tuhan, memiliki prasangka yang buruk terhadap Tuhan dan meremehkan amal kebaikan yang terlihat sepele. Pendapat Ibn Athaillah tersebut sangat relevan bagi individu yang mengalami problem kehidupan. Akhir-akhir ini problem kehidupan yang di alami oleh masyarakat modern salah satunya dikarenakan krisis masyarakat yang semakin berkembang seperti kebiasaan hidup materialistis kemudian cara berfikir yang selalu rasional dan sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak hal ini akan mengakibatkan seseorang terjebak dalam permainan dan perlombaan duniawi semata. semakin jauh dari nilai-nilai agama dan hati pun terikat hanya dengan urusan dunia sehingga timbul rasa keresahan dan ketidak tenangan dalam hati. Secara psikologis keadaan hati yang tidak baik dan merasa tidak tenang rentan menumbulkan berbagai problem kehidupan. Problem hati sangat penting dalam struktur kejiwaan seseorang. Hati yang sakit akan mengundang berbagai gangguan mental seperti iri dengki, suka berbohong, riya, ghibah, sombong, pelit, rakus dan lain sebagainya. Dari problem psikologis tersebut yang disebabkan oleh penyakit hati, Ibn Athaillah As-Sakandari memberikan solusi yang tertuang dalam konsep tasawuf nya yakni upaya riyadah al-qulub pengelolaan dan latihan hati agar selalu termotivasi mendekatkan diri kepada Allah swt. dalam perspektif konseling sufistik Ibn Athaillah As-Sakandari riyadah al-qulub meliputi sifat-sifat sebagai berikut; seperti ikhlas, tawadhu, bersyukur, ridha, sabar, tawadhu, raja dan tawakal. Konseling psikosufistik Ibn Athaillah mengedepankan pada konsep riyadah al-qulub sebagai bentuk upaya membersihkan jiwa terutama hati dari Ibid. Muhamad Rifai Subhi et al., ―Pendekatan Sufistik Dalam Bimbingan Dan Konseling,‖ Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling XXI 2019 150–156. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 59 berbagai sifat mazmumah. Riyadah al-qulub dijadikan sebagai proses pelatihan jiwa yang bertujuan menimbulkan prilaku yang positif. Proses pelatihan jiwa ini sangat penting terutama pada pengelolaan keadaan hati, karena jika keadaan hati seseorang sehat dan jernih dalam pandangan Ibn Athaillah dapat menjadi pengaruh positif dalam tingkah laku maupun dalam menghadapi problem kehidupan. Proses latihan riyadah al-qulub dalam bentuk pengelolaan keadaan hati maupun mimbina akhlak dengan baik merupakan upaya dan tahapan konseling islami yang sangat penting. Karena dalam proses latihan tersebut hal-hal positif yang terkandung dalam riyadah al-qulub berpotensi mampu mengubah keadaan jiwa seseorang dan terwujudnya tingkah laku terpuji. Law of exericise sebuah istilah dalam psikologi berkaitan dengan tingkah laku. keadaan suatu jiwa akan jernih, manakala prilaku yang dilakukan seseorang tersebut mengarah kepada hal-hal yang baik dan positif. Begitupun jika sebaliknya, jika keadaan jiwa seseorang mengalami suatu penyakit maka prilaku yang ditampilkan cendrung mengarah ke hal-hal yang negatif. Pernyataan ini mengambarkan bahwa semua prilaku seseorang pasti dipengaruhi oleh suatu keadaan psikologis yang ada dalam hati, pikiran maupun perasaan. Keadaan jiwa yang bersih pasti dipengaruhi oleh keadaan hati yang sehat. Mengacu dari hal tersebut bahwa pemikiran Ibn Athaillah As-Sakandari mencerminkan sebuah teori konseling sufistik tentang hubungan hati dengan tingkah laku yang ditampilkan seseorang. Teori ini dapat menjadi suatu referensi maupun rujukan bagi para konselor dalam merumuskan hubungan antara ranah hati dan fenomena tingkah laku manusia. Penutup Konsep tasawuf Ibn Athaillah secara umum lebih menekankan aspek hati ―riyadah al-qulub‖ dan pembinaan akhlak. Konsep ini dijadikan sebagai pijakan pendekatan konseling bagi seseorang yang ingin mencari solusi dari problem yang sedang dihadapai, maupun bagi seseorang yang menginginkan kehidupan yang lebih baik lagi dengan menempuh jalan spiritualitas. Pandangan ilmu Tasawuf penyebab dari berbagai gangguan kesehatan mental yang mengakibatkan timbulnya berbagai problem kehidupan adalah karena kekosongan spiritual. Menurut Ibn Athaillah hal ini disebabkan salah satunya ialah karena penyakit hati, timbulnya penyakit hati disebabkan oleh perkara buruk, seperti menunda amal ibadah, suudzan kepada Allah, meremehkan amal, sedih dan malas beribadah. Manusia yang mengalami kekosongan spritual berpotensi munculnya gangguan kejiwaan, contohnya seperti seperti stres, depresi, cemas dan lain sebagainya.. Pada umumnya penyakit seperti ini sulit Fera Andriani, ―Teori Belajar Behavioristik Dan Pandangan Islam Tentang Behavioristik,‖ Syaikhuna 6, no. 2 2015 165–180. 60 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 disembuhkan dengan cara medis. Barangtentu penyakit batin akan lebih efektif disembuhkan dengan metode rohaniah seperti konseling psikosufistik. Konsep Ibn Athaillah dalam menangani hal seperti ini ialah dengan menekankan Riyadah al-qulub dan membina prilaku yang baik. Riyadah al-qulub sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, yakni diaplikasikan dengan latihan-latihan yang berkenaan dengan hati seperti; Ikhlas, Ridha, Sabar, Tawadhu, Tawakal, Raja, Khauf dan Syukur. Disamping hal ini, akhlak juga harus dibina guna menumbuhkan karakter manusia berakhlak karimah dan bertaqwa. Menurut Ibn Athaillah karakter manusia yang bertaqwa ialah; selalu Husnudhan kepada Allah swt, Instropeksi diri dan Istiqomah dalam menjalankan amal ibadah. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam konseling Islam. Maka dalam melakukan konseling Islam, pendekatan ilmu tasawuf Ibn Athaillah dapat dijadikan sebagai basis, metode dan landasan untuk konseling spiritual. Daftar Pustaka Achmad, Ubaidillah. ―Teori Kehendak Manusia Perspektif Psiosufistik Al-Gazali.‖ Konseling Religi 6, no. 2 2015. Andriani, Fera. ―Teori Belajar Behavioristik dan Pandangan Islam tentang Behavioristik.‖ Syaikhuna 6, no. 2 2015 165–80. Anwar, Sutoyo. ―Model Bimbingan dan Konseling Sufistik Untuk Mengembangkan Pribadi Yang ‗Alim dan Saleh.‖ Universitas Negeri Semarang 8 2017 4–10. Arifudin, Muhammad. ―Corak Tasawuf Kitab Hikam Karya Ibn ‗Athaillah As-Sakandari Dan Implikasinya Dalam Pembentukan Akhlak Di Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik.‖ Masters, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018. Aryati, Azizah. ―Pemikiran Tasawuf Syeikh Ibn ‗Atoillah as-Sakandari Dalam Kitab Al Hikam Kajian Tentang Rekonstruksi Dan Kontribusi Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Pendidikan Islam.‖ Manhaj Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat 6, no. 1 2017. Aryati, Azizah, dan Ismail Ismail. ―Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Pemikiran Tasawwuf Ibnu Athoillah as-Sakandari,‖ 76–83. IAIN Bengkulu, 2019. As-Sakandari, Syekh Ibnu Athaillah. Kitab Al-Hikam Jalan Kalbu Para Perindu Allah SWT. Shahih, 2015. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 61 Azmi, Alia. ―Individualisme Dan Liberalisme Dalam Sekularisme Media Amerika.‖ Humanus 12, no. 1 28 Juni 2013 33–42. Basyar, Achmad Beadie Busyroel. ―Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari tentang pendidikan sufistik dan relevansinya dengan pendidikan karakter di Indonesia Telaah Kitab al-Ḥikam al-Aṭāiyah.‖ Undergraduate, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2016. Effendy, Yudy. Sabar & Syukur Rahasia Meraih Hidup Supersukses. QultumMedia, 2012. Elliott, Jeffrey Charles. ―Humility Development and analysis of a scale,‖ 2010. Fauzi, Ahmad. ―Psikosufistik Pendidikan Islam Dalam Perspektif Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah.‖ Jurnal Intelektual Jurnal Pendidikan Dan Studi Keislaman 8, no. 2 1 Agustus 2018 229–40. Fauziyyah, Hanifah. ―Konseling sufistik dalam pembinaan akhlak siswa Studi kasus di Pondok Pesantren Al-Falah 2 Nagreg,‖ 2019. Ghozali, Muhammad Luthfi. Percikan Samudra Hikmah Syarah Hikam Ibnu Atho’illah As-Sakandari. Kencana, 2011. Hadziq, Abdullah. Rekonsiliasi psikologi sufistik dan humanistik. Rasail, 2005. Heldi, Heldi. ―Pola Konsumsi Masyarakat Post-Modern Suatu Telaah Perilaku Konsumtif Dalam Masyarakat Post-Modern.‖ Al-Iqtishad Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah 1, no. 1 7 Januari 2009. Hidayat, Fahrul, Arisatul Maulana, dan Doni Darmawan. ―Komunikasi Terapeutik Dalam Bimbingan Dan Konseling Islam.‖ Hisbah Jurnal Bimbingan Konseling Dan Dakwah Islam 16, no. 2 2019 139–51. Ibn Athaillah As-Sakandari, Syaikh. Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru. Diterjemahkan oleh Ismail Baadillah. Jakarta Khatulistiwa Press, 2017. Mucharor, Mucharor. ―Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-Syukandari,‖ 2015. Mujib, Abdul. ―Model Kepribadian Islammelalui Pendekatan Psikosufistik.‖ Nuansa 8, no. 1 2015. Novita, Nendri. Efektifitas Pendekatan Sufistik Melalui Layanan Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Kesadaran Sholat Lima Waktu Bagi Mahasiswa Iain 62 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 Batusangkar. IAIN Batusangkar, 2019. Nurcholis, Ahmad. ―Peran Tasawuf dalam Merekonstruksi Krisis Spiritualitas Manusia Modern.‖ Sosio Religi, 2012. Nurdin, Muhammad, Muhammad Harir Muzakki, dan Sutoyo Sutoyo. ―Relasi Guru Dan Murid Pemikiran Ibnu ‗Athaillah Dalam Tinjauan Kapitalisme Pendidikan.‖ Kodifikasia 9, no. 1 2015 121–46. Rosmalina, Asriyanti. ―Pendekatan Bimbingan Konseling Islam Dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Remaja.‖ Holistik 1, no. 1 2016. Sabiq, Zamzami. ―Konseling Sufistik Harmonisasi Psikologi Dan Tasawuf Dalam Mewujudkan Kesehatan Mental.‖ ’Anil Islam Jurnal Kebudayaan Dan Ilmu Keislaman 9, no. 2 31 Desember 2016 328–52. Subhi, Muhamad Rifai. ―Development of Islamic Counseling Concept spiritual Issues in Counseling.‖ Hisbah Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam 13, no. 1 1 Juni 2016 121–34. Subhi, Muhamad Rifai, Cece Rakhmat, Syamsu Yusuf LN, dan Nandang Budiman. ―Pendekatan Sufistik dalam Bimbingan dan Konseling.‖ Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling XXI, 2019, 150–56. ———. ―Pendekatan Sufistik dalam Bimbingan dan Konseling.‖ Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling XXI, 2019, 150–56. Sutoyo, Anwar. ―Bimbingan dan Konseling Islami teori dan praktik.‖ Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2013. Syarbini, Amirulloh, dan Jumari Haryadi. Dahsyatnya Sabar, Syukur, Ikhlas Muhammad SAW. Ruang Kata, 2010. Syukur, Muhammad Amin. ―Sufi Healing Terapi Dalam Literatur Tasawuf.‖ Walisongo Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20, no. 2 15 Desember 2012 391–412. Tajuddin, Yuliyatun. ―Komunikasi Dakwah Walisongo Perspektif Psikosufistik,‖ 2014. ... Thus the soul that is ready through the process of counseling must be ready to migrate the mind towards a new positive mind. Counseling that uses psychosufism is more geared towards counseling that applies the values of tasawwuf and it is different from ordinary counseling Firdaus, 2021. Masroom's study 2016 explains that the concept of mental health according to the Islamic perspective needs to be understood accurately because it is very important and this matter is not discussed in the field of psychology. ...Muhammad Ibnu Faruk FauziIbn Athaillah is a figure of the Shadziliyah order, where syadziliyah is one of the leading Sufi orders in the world, especially in Indonesia. Ibn Athaillah was a prolific scholar with his works in the fields of interpretation, Sufism, hadith, aqidah, nahwu, and ushul fiqh. One of his best known works in the field of Sufism is the book of Al-Hikam. Al-Hikam is a popular book among Muslims. The Book of Al-Hikam is the main work of ibn Athaillah which has been very popular in the islamic world for centuries to the present day. This book is also the main study of almost all Islamic boarding schools in Indonesia. It contains wise words about morals, heart, and his relationship with the Khaliq, namely Allah Almighty. Ibn Athaillah in his study in the book of Al-Hikam with reference to the Qur'an and As-Sunah. The Book of Al-Hikam is a hallmark of Ibn Athaillah's thought, especially in terms of Sufism. This athaillah thought is not just a sufism style that prioritizes theology, but contains elements of shari'a experience, tarikat, and essence pursued in a methodical HidayatArisatul MaulanaDoni DarmawanGuidance and counseling services is a service intended for all people, meaning that anyone can accept this service. However, service delivery must be done by people who are truly professionals who understand the techniques and methods of implementation. The guidance and counseling process is a service that always prioritizes communication. Communication is a vital tool that must be considered by the counselor. For that communication must be built as comfortable as possible by the counselor. One of the things that supports the success of the guidance and counseling service process is the therapeutic communication atmosphere, which means that the atmosphere is focused on healing the client. Therapeutic is basically known in the world of nursing but at this time therapeutic is also beginning to be known in the guidance and counseling services. In this study, we conducted a literature study that discusses therapeutic communication that can be done in counseling and guidance services. The conclusion of this study is that therapeutic communication is in principle a professional communication that leads to the goal. To be able to carry out the therapeutic communication process effectively, counselors need to master communication techniques. In its actualization, therapeutic communication is used by the counselor to instill confidence in the counselee and create a close relationship between the two in order to be able to open themselves to each other in handling problems and then the goals to be achieved can be implemented to the maximum. Keywords communication, guidance and counseling, Rifa’i SubhiPerdebatan panjang yang terjadi dalam pengembangan konsep konseling islam oleh para ahli dari berbagai negara menjadi isu aktual yang menarik untuk dibahas. Hal ini memperjelas kemana arah pengembangan konsep konseling islam, sehingga ditemukan ciri khas dari apa yang sebenarnya dikaji dalam konseling islam. Penelitian ini membahas tentang perdebatan tersebut yang bertujuan untuk memetakan konsep konseling islam dari berbagai ahli, dengan menggunakan 3 artikel utama dari 3 tokoh yang memiliki pendekatan berbeda dalam mengembangkan konsep konseling islam. Metode penelitian yang digunakan ialah analisis isi content analysis, yakni proses penguraian data, pengkonsepan, dan penyusunan kembali dengan cara baru. Langkah-langkah yang ditempuh dalam analisis isi meliputi, Open coding, axial coding, dan selective coding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan konsep konseling islami merupakan suatu hal yang baru dalam dunia konseling. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila dalam proses pengembangannya menuai pro dan kontra dari pihak-pihak pendahulu yang sudah memiliki metodologi dan konsep keilmuan yang sudah teruji, baik secara teoritis maupun praktis. Pihak-pihak yang kontra dengan pengembangan ini ialah mereka yang tidak mengakui adanya dimensi spiritualitas yang menjadi sasaran utama dalam konsep konseling islami, beberapa diantaranya ialah Freudian, Adlerian, dan lain-lain. Adapun pihak yang terus memperjuangkan pengembangan konsep konseling islami ialah para cendekiawan muslim yang sebagian besar berasal dari Afrika Selatan, Asia, dan Amerika. Dalam mengembangkannya pun tidak sedikit dari mereka yang menemukan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh penggunaan sudut pandang atau pendekatan yang berbeda dalam merumuskan konsep konseling islami. Keadaan seperti ini semakin memperkuat posisi pengembangan ini sebagai isu dalam dunia konseling. Kata Kunci Konsep, Konseling, Konseling Islam. Alia AzmiLiberal thoughts argue that men have rational and logical ability to decide the rightest and best choice for themselves, which means that men are autonomous in determining their life’s orientation and truth. Therefore men cannot be forced to accept certain general truth from the society because each person have distinguished goal, which is incommensurable. The single interpretation of truth is considered incompatible with human ability to contemplate their objectives. This makes the basis of the secular practice in American society; the separation of church religion and state, where religion is considered private matters. The amendment of the constitution clearly notes that state should not make any law respecting or against practice of any religion. This practice can be seen in the American mass media, where most hold liberal view and shun away from religious debates. Media as a public sphere play an important role in facilitating the debate about discourses, therefore refrain from private matters such as religion. Key words liberal self-determinism, secularism, American mediaMuhammad NurdinMuhammad Nurdin Muhammad Harir MuzakkiSutoyo SutoyoKapitalisme pendidikan telah merubah orientasi pendidikan dan pola relasi guru-murid ke arah yang materialis dan mekanis. Sebaliknya, tujuan pendidikan dan model hubungan guru-murid dalam pendidikan yang Islami lebih bersifat spiritual dan berupa penghambaan demi meraih ridla Allah. Penelitian kepustakaan ini mengkaji pandangan Ibnu Athaillah tentang relasi guru-murid ditinjau dari perspektif kapitalisme pendidikan. Sumber data utamanya adalah buku-buku karangan Ibnu Athaillah tentang relasi guru-murid, terutama kitab al- Hikam, dan buku-buku karangan penulis lain yang mengulas tentang kapitalisme pendidikan. Artikel ini menyimpulkan bahwa pandangan Ibnu Athaillah tentang relasi guru-murid secara khusus dan hakekat pendidikan secara umum perlu direvitalisasi di masa sekarang, karena kapitalisme pendidikan dalam beberapa segi telah menghilangkan spirit ruhaniah dalam pendidikan dan justru mendukung proses-proses yang mengarah kepada Bimbingan dan Konseling Sufistik Untuk Mengembangkan Pribadi Yang ‗Alim dan SalehSutoyo AnwarAnwar, Sutoyo. -Model Bimbingan dan Konseling Sufistik Untuk Mengembangkan Pribadi Yang ‗Alim dan Saleh.‖ Universitas Negeri Semarang 8 2017 sufistik dalam pembinaan akhlak siswa Studi kasus di Pondok Pesantren Al-Falah 2 NagregHanifah FauziyyahFauziyyah, Hanifah. -Konseling sufistik dalam pembinaan akhlak siswa Studi kasus di Pondok Pesantren Al-Falah 2 Nagreg,‖ Samudra Hikmah Syarah Hikam Ibnu Atho'illah As-Sakandari. KencanaMuhammad GhozaliLuthfiGhozali, Muhammad Luthfi. Percikan Samudra Hikmah Syarah Hikam Ibnu Atho'illah As-Sakandari. Kencana, psikologi sufistik dan humanistik. RasailAbdullah HadziqHadziq, Abdullah. Rekonsiliasi psikologi sufistik dan humanistik. Rasail, Kepribadian Islammelalui Pendekatan PsikosufistikAbdul MujibMujib, Abdul. -Model Kepribadian Islammelalui Pendekatan Psikosufistik.‖ Nuansa 8, no. 1 2015.Asriyanti RosmalinaPendekatanRosmalina, Asriyanti. -Pendekatan Bimbingan Konseling Islam Dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Remaja.‖ Holistik 1, no. 1 2016.
Tidak sedikit dari kita kerap berburuk sangka kepada Allah. Kita sering mengira bahwa Allah mengabaikan hamba-Nya hanya karena bencana dan derita yang kita alami. Padahal ujian dan cobaan yang kemudian “memaksa” kita untuk bermunajat kepada-Nya adalah cara Allah memilih hamba-Nya. Hal ini disinggung dengan jelas oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut أطلق لسانك بالطلب فأعلم أنه يريد أن يعطيكArtinya, “Ketika Allah SWT menggerakkan lidahmu melalui sebuah doa, ketahuilah bahwa Dia ingin memberikan karunia-Nya kepadamu.”Dari sini kita dapat memahami bahwa orang-orang yang berdoa dan bermunajat merupakan hamba-hamba pilihan Allah. Ketika Allah menjatuhkan pilihan-Nya kepada kita atas sebuah cobaan, pada hakikatnya Dia mengasihi kita yang kemudian memperkenankan kita untuk bermunajat kepada-Nya. Demikian uraian Syekh Ibnu Abbad atas hikmah أنس بن مالك رضى الله عنه قال قال رسول الله إذا أحب الله عبدا صب عليه البلاء صبا وسحه عليه سحا فإذا دعا قالت الملائكة صوت معروف وقال جبريل يا رب عبدك فلان اقض حاجته فيقول الله "دعوا عبدي فإني أحب أن أسمع صوته" فإذا قال يا رب قال الله تعالى لبيك عبدى وسعديك لاتدعونى بشئ الا استجبت لك ولا تسألنى شيئا الا أعطيتك إما أن إعجل لك ما سألت وإما أن أدخر لك عندى أفضل منه وإما أن أدفع عنك من البلاء ما هو أعظم من “Anas bin Malik RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila Allah jatuh cinta kepada salah seorang hamba-Nya, maka Allah mengucurkan dan mengalirkan ujian kepadanya. Kalau ia lantas bermunajat, malaikat bergumam, suara orang ini tak asing.’ Lalu Jibril memberanikan diri, Ya Allah, itu suara si fulan, hamba-Mu. Penuhilah permintaannya.’ Allah menjawab, Para malaikat, biarkanlah ia. Aku senang mendengar suara munajatnya.’ Kalau ia menyeru, Tuhanku.’ Allah menjawab, Labbaik wa sadaik aku sambut panggilanmu wahai kekasih-Ku. Tiada satupun yang kau doakan, melainkan pasti Kukabulkan. Tiada satupun permintaanmu, melainkan pasti Kuberikan. Bisa jadi Kukabulkan segera doamu. Bisa jadi Kutangguhkan permintaanmu dan Kuganti dengan yang lebih baik. Bisa jadi juga Kuhindarkan dirimu dari bala yang lebih berat ketimbang bencana itu,’’” Lihat Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, juz I, halaman 76.Syekh Ibnu Abbad mengutip hadits Rasulullah SAW bahwa mereka yang dikasihi dan dicintai Allah adalah hamba-hamba-Nya yang diperkenankan untuk bermunajat kepada-Nya berlama-lama melalui pintu ujian dan cobaan. Allah menginginkan mereka yang menerima cobaan untuk sering-sering bagaimana dengan pengabulan doa dan permohonan dalam munajat kita? Lagi-lagi, kita tidak perlu khawatir. Allah takkan mengingkari dan menelantarkan hamba-Nya sebagai disinggung Syekh Syarqawi berikut عليه الصلاة والسلام من أعطى الدعاء لم يحرم الإجابة أى اما بعين المطلوب أو بغيره عاجلا أو آجلا قال بعضهم هذا اذا كان الدعاء صادرا عن اختيار وقصد أما اذا جرى على اللسان من غير قصد فان الاجابة بعين المطلوب لا تكاد تتخلفArtinya, “Rasulullah SAW bersabda, Siapa saja yang dikaruniakan ibadah doa, maka ia takkan luput dari ijabah,’ baik ijabah atas hajat yang disebutkannya di dalam doa maupun ijabah atas hajat yang tidak disebutkan substitusi entah dalam waktu seketika atau ditangguhkan. Sebagian ulama memahami bahwa itu berlaku pada doa yang didasarkan pada saat orang memiliki pilihan dan disengaja. Untuk doa yang terlompat begitu saja dari mulut tanpa sengaja dan terencana, ijabah atas hajat yang terucap hampir-hampir tidak meleset dan tidak tertunda,” Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Indonesia, Daru Ihyail Kutub Al-Arabiyah, juz I, halaman 75.Penjelasan Syekh Syarqawi ini jelas bahwa doa pasti dikabulkan tetapi dalam tempo yang tidak bisa ditentukan dan dalam bentuk yang tidak bisa kita pastikan. Bisa jadi kita menunggu-tunggu pengabulan doa dan hajat kita, padahal Allah sudah kabulkan dalam bentuk yang lain. Ini juga yang kerap membuat kita berburuk sangka kepada samping itu, orang yang berdoa terbagi atas dua kondisi. Ada mereka yang sedang dalam kondisi lapang sehingga mereka berdoa dengan terencana. Tetapi ada orang yang bermunajat kepada Allah dalam kondisi darurat, terjepit, kepepet, sehingga mereka tidak lagi berdoa secara terencana. Mereka yang kepepet dan dalam kondisi darurat kerap diijabah Allah sesuai bentuk hajat yang mereka perlukan, yaitu mereka yang kelaparan, yang membutuhkan jaminan perlindungan dan keamanan, mereka yang membutuhkan hak hidup, mereka yang dalam kondisi sulit dan sempit lainnya. Doa atau munajat di sini bisa dalam bentuk ubudiyah semata penghambaan kepada Allah dan menganggap bahwa doa memang bagian dari ibadah. Tetapi ada juga mereka yang berdoa dan bermunajat kepada Allah karena spontanitas semata-mata lantaran kepepet dan tidak menemukan jalan lain yang memang tidak menganggap doa sebagai salah satu bentuk ibadah sebagaimana disinggung Syekh Zarruq Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 99. Wallahu alam. Alhafiz K
jodoh menurut ibnu athaillah